(EKSEKUSI..!! DAN TITIK..!!!)
Langkah ku kian mantap menuruni tangga menuju ke belakang
sekolah. Tempat yang telah kami sepakati untuk pertaruhan di malam itu. Hanya
saja keyakinan langkahku saat ini sedang tidak sebanding dengan detak jantung
ku yang semakin menderu cepat. Seperti mendengar derap larikuda di pacuannya.
Tak kunjung henti dan semakin berdebar. Tapi tak ada kata untuk mundur saat
ini. Ya, “AKU SUDAH SIAP.”
***
Kosong dan sepi..
Tak ada seorang pun disini. Kak Vino juga masih belum
datang. Ku rasa beberapa saat lagi dia akan datang.
Tak lama kemudian kak Vino datang juga pada akhirnya.
“Loh dit, si Luna dimana.?” Tanya kak Vino sambil
memperhatikan sekitar.
“Luna ya.?” Ku palingkan wajahku darinya.
“Ya, Luna, bukan kah alasan itu kamu memanggilku kemari.”
Wajah kak Vino tak seperti biasanya saat dia melontarkan
pertanyaan yang sama bertubi-tubi pada ku.
“Owh itu ya.” Aku berjalan mendekatinya. Hingga begitu dekat. “Yang ingin aku jadikan pacar itu kak Vino,
bukan Luna.” Jawabku singkat.
“Haah.??” Ekspresi wajahnya kini telah berubah entah apa
maknanya.
“Maaf.” Hanya kata itu yang ku berikan sebagai jawaban. dan
kini tak ada lagi jarak diantara kami berdua di saat ku kecup bibirnya dengan
singkat.
Segera ku bergegas akan berlari meninggalkannya. Malu, itu
yang ada dalam benakku saat ini. Tapi, langkahku terhenti saat dia mencegatku.
“Ya, sudah.” Entah apa maksud dari perkataannya.
Kini dia berbalik mencium ku. Belakang sekolah menjadi saksi
bisu atas segala kejadian ini. sekarang aku mengerti maksud dari perkataannya
itu. Kurasa, kini kami berdua telah resmi berpacaran. Pacaran dengan kondisi
yang aneh dan entah apa namanya. Dan rasanya kami telah siap menanggung segala
konsekuensi nya nanti. Ya, semoga.
“Bukankah ini yang kamu mau.?”
Sepenggal kalimat yang terdengar begitu mantap keluar dari
mulut kak Vino. Hanya sebuah anggukan pelan yang bisa ku berikan sebagai
balasannya. Akhirnya, aku bisa mengeksekusi hari ini dengan sempurna. Ya,
segala permainan di hari ini.
***
Empat bulan berlalu setelah kejadian itu. Hingga sekarang
telah memasuki masa libur semester. Kami hanya mengisi liburan dengan
berjalan-jalan di berbagai tempat. Seperti saat ini, kami sedang berada di taman
kota. Taman tempat dimana kak Vino punya sepenggal cerita yang cukup kelam
disini.
“Eh dit. Foto yuk.?”
“Foto.??”
“Iya, selama ini kan belum pernah tuh kita foto berdua.”
Pernyataan yang ada benarnya, jadi tanpa berfikir panjang
langsung saja ku terima tawaran tersebut. Hanya saja aku bukan model yang ahli
dalam berpose saat pengambilan gambar.
“Oke, habis ini kita langsung cetak fotonya ya.”
“Cetak.? Nanti apa kata orang coba.?” ujar ku sanksi.
“Ya kenapa.? Lagian fotonya biasa aja kok.” Sanggah kak Vino.
“Iya sih, ada benarnya juga.”
Entah kenapa hari ini terasa cukup canggung dalam segala
situasinya. Perasaanku serba tidak enak. Entah apa, akan tetapi rasanya begitu
gundah menyelimuti di dalam hatiku. Ya, mungkin hanya perasaan ku saja.
“Yuk pergi cetak foto.” Ajakan kak Vino menyadarkanku dari
lamunan.
“Sekarang.?”
“Bukan, minggu depan.”
“Owhh.”
“Sekarang lah dit.”
Kami pun bergegas meninggalkan tempat tersebut. Pergi kearah
tujuan yang baru. Tapi tetap saja aku merasa bosan dengan hari ini. Entah kenapa.
Ya, sangat membosankan.
***
“Nah, kamu simpan satu aku juga simpan satu. Biar adil kan.”
“Adil.”
“Kamu kenapa dit.? Dari tadi lesu amat.?”
“Gak kenapa-kenapa kok. Kak pinjam fotonya sebentar donk.”
Ku ambil foto tersebut, kemudian ku keluarkan pena dari tas
sampingku. Aku pun menuliskan sesuatu dibalik foto tersebut.
“Tulis apa dit.?”
Wajanya terlihat bingung dengan hal yang sedang aku lakukan
saat ini. Dan aku hanya bisa membalas
pertanyaannya dengan cara menatapnya. Entah apa yang baru saja ku lakukan.
Semua terjadi dengan spontan. Dan kemudian ku kembalikan foto tersebut kepada
pemiliknya.
“Gak tau deh. Aku pulang dulu ya kak.”
“Loh kenapa dit.?”
“Cuma ingin pulang.”
“Yuk aku antar pulang.?” Tawarnya.
“Gak usah deh, aku bisa pulang sendiri.”
“Kamu ada masalah.?”
Pembicaraan ini mulai dibawanya ke ranah yang lebih serius.
“Gak ada kok, entah kenapa mood aku tiba-tiba gak enak aja.”
“Yaudah kalau kamu maunya gitu. Yang penting hati-hati aja
di jalan.”
“Oke deh.”
Ku tinggalkan tempat tersebut. Berhubung dari awal memang
kami pergi dengan satu motor. Apa boleh buat, aku akhirnya hany memiliki
pilihan dengan cara menumpangi kendaraan umum. Melehakan memang.
Sebelum tiba di rumah. Aku sempatkan untuk singgah di sebuah
rumah makan. Berhubung hingga dua hari kedepan mama masih belum ada di rumah.
Jadi apa boleh buat masalah makanan aku harus mengurusnya sendiri.
Penat dan lelah. Entah kenapa hal itu seakan menyelimutiku.
Aku hanya merasa kurang enak saja tadi
terhadap kak Vino. Aku menghentikan aktifitas kami begitu saja secara sepihak.
Ku rogoh telepon genggam yang ku simpan didalam kantong celanaku. Dan hingga saat ini belum ada pesan masuk
yang singgah pada telpon genggam ku.
Bosan yang masih berkepanjangan. Aku pun beranjak menuju
lantai dua kearah kamarku. Ku tapaki anak tangga satu per satu. Tanpa kusadari
langkahku seakan melayang. Ya begitu ringan, hingga serasa membawaku terbang
tinggi melampaui atmosfir. Dan kemudian semua hilang. Gaya gravitasi memaksaku
untuk menghempaskan diri ke bumi.
***
Hitam dan gelap sejauh mata memandang. Tempat apa ini.? Semua memori menjelma
menjadi proyeksi yang terlihat jelas di sekelilingku. Ku amati satu per satu
gambaran proyeksi tersebut. Ada satu yang cukup menarik perhatianku. Sebuah
amplop coklat besar di atas meja makan. Bukankah itu amplop yang dulu pernah ku
lihat. Dan hingga saat ini aku masih belum tahu apa isinya. Gambaran tentang
keseharianku dan orang disekitar. Hingga ku sadari, ada yang berubah dari
diriku dan juga mama. Kemudian proyeksi tersebut seakan tersedot oleh sesuatu dan kemudian
hilang. Tak lama, aku pun ikut tersedot kedalamnya dan terbawa entah kemana.
Bersambung………………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar