(ini kah dunia baru)
Radhit
Anggara P. Kini nama itu terpampang di seragam baru ku. Seragam putih dengan
celana panjang abu-abu. Walaupun seragam itu masih sekitar sebulan lagi akan ku
kenakan, tapi bukankah mempersiapkan lebih awal itu bagus..? Besok MOS hari
pertama akan berlangsung, persiapan mental dan fisik sudah harus matang. Aku
tak sendiri dalam MOS besok, ada seorang teman yang akan bersama ku. Seorang
teman lama, teman ku dari kecil.
Ku
persiapkan segala perlengkapan perang untuk besok. Karna besok adalah hari
besar ku. hari disaat aku beranjak ke jenjang keremajaan. Setelah persiapan
lengkap, ku baringkan tubuh ini di kasur. Manatap langit-langit, membiarkan
anganku mengelana tentang petualangan besok yang akan terjadi. Hingga akhirnya
senyap menjemput ku ke ruang mimpi.
***
“Dit,
bangun. Udah pagi, nanti telat loh..!” terdengar suara seorang wanita yang
berteriak memanggil namaku.
Perlahan
kesadaran ku mulai kembali. Walau kepala masih terasa berat, tetapi ku paksakan
diri ini untuk tetap terjaga.
“Mandi
dulu sana, seragam kamu ada di lemar, habis itu sarapan sama mama di bawah ya.”
“Iya
ma iya, bawel banget sih.” Celoteh ku.
“Yee,
mentang-mentang udah SMA, sekarang berani melawan ya sama mama.?” Kini mama
mulai menggoda ku sambil senyum-senyum sendiri.
“Apaan
sih..!”
Dengan
wajah yang mulai kusut aku berjalan menuju kamar mandi. Ku lepaskan semua
pakaian ku dan ku perangi dinginnya air yang membasahi tubuh ku di pagi ini.
Bayang-bayang akan pengalaman baru di jenjang SMA yang akan ku lalui nanti
mulai terbayang. Apakah akan menarik atau malah akan menjadi sesuatu yang
membosankan.?
“Dit,
cepat madinya, ini udah jam setengah tujuh loh, ntar telat.”
“Iya
ma iya, ini juga baru selesai.”
Mama
selalu saja begitu setiap pagi. Selalu terkesan bawel dan menjengkelkan. Dengan
handuk yang melingkar di pinggang, aku berjalan menuju kamarku. Ku buka lemari
pakaian, masih tergantung seragam bewarna putih dengan celana biru di sana.
“Ya,
tak lama lagi seragam ini akan menjadi sebuah kenangan, mari berjuang dengan ku
di sisa pengabdian mu wahai seragam putih biru.” Batin ku.
Ku
lepas handuk yang melingkar di pinggang ku, lansung ku kenakan seragam SMP
yang sudah mama sediakan tadi. Setelah
berpakaian, menatap cermin dan yakin bahwa diriku sudah tampil gagah. Langsung
saja ku turuni tangga menuju ruang makan. Terlihat mama yang sedang duduk
menunggu ku sambil mengecek berkas-berkas kantornya.
“Wow,
anak mama ganteng banget. Tapi kok celananya masih warna biru ya.? apa mata
mama yang salah kali ya.?” Lagi, mama mulai menggoda ku.
“Mulai
lagi deh.”
“Yaudah
makan dulu gih, jangan sampai telat, mama berangkat ke kantor duluan ya dit,
jangan lupa kunci rumah, nanti mama pulangnya agak larut, makanan yang di
kulkas kamu panasin aja……………………………..………………..”
“Iya
ma iyaaaaa..!! Radhit dah ngerti kok, masa iya tiap pagi bilangnya itu terus.!!”
Ku potong pembicaraan mama sebelum mama berbicara lebih panjang lagi.
“Yaudah
mama pergi dulu ya, hati-hati di jalan.”
Setelah
mencium kening ku mama langsung bergegas pergi. Kini tinggal aku sendiri di
rumah besar ini. Ku lirik sebuah foto yang berada di ruang makan. Seandainya
papa dan kak Nino masih ada, suasana rumah tak mungkin sehening ini. Serangan
jantung yang di idap papa telah merenggut nyawanya saat penugasan di Balikpapan.
Sedangkan kak Nino, seandainya dia tak datang menjemputku waktu itu, pasti dia
masih disini bersama ku sekarang. Tersadar dari lamunan, ku lirik arloji yang
ku kenakan.
“Sepuluh
menit lagi jam tujuh..!!!! Sial, gua telat…!!!!”
Takut
bukan kepalang, langsung saja aku bergegas meninggalkan rumah menuju halte di
seberang jalan. Tak perlu lama menunggu
kini aku sudah berada di dalam salah satu bus. Melaju menuju pengalaman baru.
“Disana
lo rupanya.” Seorang teman menyapaku di dalam bus.
“Hey.”
Balasku singkat.
“Gimana
udah siap dengan hari ini.?”
“Ya,
gue sudah siap dengan hari ini.”
“Termasuk
siap dapat hukuman karna telat di hari pertama.?”
“Kalau
itu, eumm,.. Kamu sendiri.?”
“Kenapa
enggak.? Tentu gue siap.” Ucapnya mantap.
Ucapannya
mulai memotifasi ku di pagi ini. Iya, dia teman lama ku, teman yang ku kenal semenjak
aku masih sangat kecil bahkan untuk mengingat, teman yang akan bersama dengan ku
menjalani MOS hari ini hingga tiga hari kedepan. Dan teman yang akan selalu
bersama ku hingga akhir nanti. Ya, dia teman ku yang paling setia.
Bus
yang kami tumpangi berhenti sejanak di sebuah halte untuk menaikan dan
menurunkan penumpang. Cukup banyak penumpang baru mulai menaiki bus yang kami
tumpangi. Cuma ada seseorang yang menarik perhatian ku. seorang cowok yang
berseragam SMA, dan dia kini duduk tepat di sebelah ku.
“Boleh
tau jam berapa sekarang.?” Ucap cowok berseragam SMA tersebut.
“Jam
tujuh lewat sepuluh kak.”
“Makasih”
balasnya singkat.
Ku
perhatikan cowok yang ada di sebelah ku. Elvino Baskara S, begitu yang tertulis
di papan namanya. Mataku menelusuri kembali seragam cowok disebelahku itu, dan
akhirnya pencarianku terhenti di papan nama sekolah yang berada di lengan baju
cowok itu.
“Papan
nama sekolah itu.?? Dia panitia MOS ku.!!!! mampus aku.!!!!” Batin ku mulai
konflik.
Bus
yang kami tumpangi perlahan berhenti di sebuah gapura. Gapura sebuah sekolah
yang terlihat megah. Cowok itu mulai beranjak dari kursinya.
“Langsung
berdiri ya di lapangan, sama-sama dengan anak lain yang juga terlambat.” Ucap
cowok itu.
“I..i..iya
kak.” Dan kini lidahku mulai terasa kelu.
Bergegas
aku beranjak dan mulai memasuki areal di dalam gapura tersebut. Sesuatu yang
baru bagi ku. pandangan ku terhenti pada cowok yang sama-sama di bus dengan ku
tadi. Terlihat dia sedang berbincang dengan seorang cewek.
“Woi..!!
lari cepat..!! udah telat masih aja santai..!!” Seorang senior berteriak pada
ku.
Langkah
ku berubah menjadi lari kecil menuju ke tempat dimana anak-anak lain yang
terlambat berada. Ku ambil posisi dan ikut kedalam barisan. Ya, barisan ini
akan menjadi barisan keramat. Secara, barisan ini akan menjadi barisan yang
akan paling sering diplonco sama senior.
“Kalian
semua ambil posisi setengah jongkok. Kalian boleh berdiri saat saya
perintahkan. Mengerti.!!” Ucap senior tadi.
“Ngerti
kak..!!” ucap kami yang ada dalam barisan serempak.
Mau
tidak mau, kami harus tetap mengambil posisi berdiri yang tidak nyaman ini. Ku
perhatikan teman ku. pandangannya tak lepas dari cowok yang kami temui di bus
tadi.
“Jangan
diliatin terus, ntar jatuh cinta loh.” Ucapku mengagetkan nya.
“Ahh,
mana mungkin, ngeyel lo.!!!”
Perutku
terasa tergelitik mendengar pembelaan dari temanku itu. Dan berakhir dengan
sebuah tawa yang cukup lepas. Sebuah tawa yang membawaku pada petaka baru.
Jelas saja, tawa ku terdengar oleh salah seorang senior.
“Kamu
sini.!!” Bentak salah seorang senior yang mendengar tawa ku.
Walau
enggan, ku langkahkan kaki ku menghampiri senior yang memanggilku. Ku yakin ini
adalah saat dimana aku akan di perolok oleh senior dihadapan anak-anak lain.
“Kenapa
tertawa.!! Ada yang lucu.!!” Bentak salah seorang senior berbadan tambun.
“E..e..enggak
kak.” Jawabku grogi.
“Terus
kenapa tertawa.!! Kamu gila ya.!!”
Perkataan
senior tersebut mengundang gelak tawa dari anak-anak lain yang juga menjalani
hukuman dengan ku. Sedangkan teman ku, terlihat seakan memamerkan senyum
kemenangannya. “Sial, awas saja nanti.” Batinku.
“Push
up.!!” Bentak senior tersebeut.
Kembali
dengan pasrah ku lakukan perintahnya. Langsung saja ku ambil posisi push up. Ketika
baru saja aku mau memulai untuk memakukan kegiatan melelahkan tersebut.
“Stop.!!
Tahan posisi seperti itu sampai aku bilang istirahat.”
“Tapi
kak, ini juga baru turun setengah.” Keluh ku.
“Iya
saya tahu, makanya saya suruh tahan posisi itu.” Ujar senior tersebut.
Terik
matahari yang terasa panas di pagi ini mulai menyentuh kulitku. Sudah sekitar
lima belas menit aku adalam posisi ini. Kepalaku pun mulai terasa berat,
lambungku mulai berguncang hebat. Ku kira aku akan mati dalam keadaan ini.
Tanpa pikir panjang dan tanpa perintah dari senior, langsung saja aku berdiri.
“Ehh,
siapa yang suruh kamu berdiri.!!” Senior tadi kembali membentakku.
“Vik,
udah, kasihan tuh anak dari tadi lu suruh push up gak naik turun.”
Salah
seorang senior mencoba membelaku. Seorang senior yang tadi berpaspasan saat
berangkat ke sekolah dengan ku.
“Iya
tapi…..”
“Gue
ketua panitia, dan gue yang bertanggung jawab kalau ntar terjadi apa-apa sama
tuh anak.!!”
“Oke
deh oke, lo ketuanya.”
Senior
berbadan tambun itu pun menyerah dalam adu mulut singkat tersebut. Sialnya
kepalaku kini benar-benar terasa berat. Pandanganku mulai samar, kilatan cahaya
yang begitu terang menghampiri, dan dalam sekejap. Zzzuup..!!!!
***
Dengan
berat ku buka mataku perlahan. Pandanganku masih samar-samar. Tapi apa yang
dilakukan temanku di sini. Dia bersama ketua panitia MOS yang membelaku tadi.
Ehh, tunggu, mereka saling mempertemukan mulut mereka.?? Apa ini mimpi.??
Ku
pejampan mataku serapat mungkin dan tak ingin melihat apapun saat ini. Serasa
tak ingin lagi ku kenal siapa sebenarnya temanku itu. Aku takut, jijik, dan tak
terima dengan sebuah kenyataan yang baru saja ku lihat. Dan masih belum bisa
bagi ku untuk mengakui bahwa dia menyukai sesama jenis.
“Hey..!!
dek..!! dek..!! kamu udah sadar.??”
Terasa
ada tangan yang menepuk halus di pipiku. Dan ada tangan lain nya yang
menggoncangkan pelan badanku. Perlahan ku buka kembali mataku. Tidak jauh beda
dengan yang tadi, tapi kini pandanganku jauh lebih baik dari pada sebelumnya.
“Dimana
dia.!!”
“Dia
siapa.??”
Senior
itu kaget karna secara tiba-tiba ku todong dengan sebuah pertanyaan. Rasa
penasaran ku akan hal tadi muncul secara tiba-tiba.
“Dia,
yang tadi sama-sama dengan kakak.!!”
“Bu
Tuti.?? Beliau sudah dari tadi meninggalkan ruangan ini.”
“Bukan,
anak yang tadi.” Sanggahku.
“Anak
yang mana.?? Sudah hampir satu jam hanya kita berdua disini.” Senior itu
mencoba menjelaskan. “Kamu ngigau ya dek.?? hahahaaaa”
“Itu
anak yang………….. sudahlah. Mungkin aku cuma salah lihat.”
“Ya
sudah istirahat dulu. Sebentar lagi orangtua mu datang kok, sabar aja”
Ku
balas dengan sebuah anggukan pelan. Kembali ku baringkan badan ku, sedangkan
senior tadi duduk di sebuah bangku tepat di samping ranjang ku. hanya ada kami
berdua ruangan UKS tanpa jendela dengan sedikit cahaya yang masuk. Terkesan
sumpek dan menyeramkan. Bagaimana seseorang yang sakit bisa sembuh di tempat
seperti ini. Tempat ini lebih mirip gudang dari pada sebuah ruang kesehatan.
“Radhit.!!
Kamu gak kenapa-kenapa kan.?? Masih sakit.?? Mau minum teh hangat dulu.?? Kita
langsung ke dokter ya.?? Kamu…………………………”
“Ma.!!!
Gak dirumah, gak di sekolah, bawel mama tuh gak hilang-hilang ya.!!” Bentak ku.
“Radhit gak kenapa kenapa ma, denger ocehan mama tuh yang bikin Radhit jadi
tambah pusing.!!”
“Huss,
gak boleh gitu sama mama kamu”
Senior
tersebut memarahiku. Walau tak ku gubris, tapi terlihat jelas bahwa dia mencoba
menahan tawa akibat pertengkaran ku dengan mama.
“Terimakasih
banyak ya Bu Tuti atas bantuannya. Kalau begitu, saya bawa Radhit pulang dulu
ya bu.” Ujar mama kepada salah seorang guru.
“Owh
iya, sama-sama bu.” Sahut guru berjilbab tersebut. “ Vino, kamu bantu nak
Radhit ya, tolong di antarkan sampai kedalam mobilnya. Jangan sampai jatuh
loh.”
“Baik
bu, akan saya antarkan.” Balas senior tersebut.
Senior
tersebut memapahku sepanjang koridor sekolah, ku lihat anak-anak lain sedang
berbaris di lapangan. Pandangan ku terhenti saat melihat seseorang yang ku
kenal dalam sebuah barisan di lapangan. Ya, dia teman ku. Teman yang bahkan
kini akupun mulai ragu untuk berteman dengannya. Perlahan identitas yang dia
sembunyikan pasti akan terkuak.
Terlihat
wajahnya yang menatap iba kepadaku. Entah iba karna kejadian tadi pagi, atau
kecewa karna tak bisa bersamaku melalui tiga hari masa perjuangan dalam MOS
ini. Walau presepsiku hanya sebatas angan semata, tapi bagi ku itu terasa
begitu nyata. Ku palingkan wajah ku darinya. Senior yang merangkul ku
menelusuri koridor sekolah pun terlihat
heran dengan tingkahku.
Jujur
saja, hari ini bukan hari ku, dan dunia baru ini terasa mulai mengganggu.
Berteman dengan orang cacat seperti dia, bukanlah sebuah pilihan. Walau pun itu
masih sebuah presepsi sebatas angan.
Bersambung……………………….
Sedikit catatan. Tunggu kejutan terakhir dari sesi "Dibalik Cermin"
BalasHapus:D :D