Sabtu, 02 Februari 2013

Bukan Sebuah Angka II

                Bosan dan jenuh mengisi hari-hariku minggu ini. Kedua orangtua ku sedang pergi ke Surabaya untuk menghadiri pesta pernikahan anak dari bos papa. Berhubung aku anak tunggal. Jadi sekarang hanya tinggal aku dan bi Ijah di rumah. Dan dari pada mati bosan di rumah, mending ku nyalakan motor dan mencari makan di luar sore ini.

                “Bi, Vino keluar bentar ya.” Ujar ku kepada bi Ijah yang sedang menyapu teras rumah.
                “Gak makan dulu den.” Sahut bi Ijah.
                “Enggak bi, ntar Vino makan di luar aja.”
                “ohh, ya sudah kalau gitu”
                “Jalan dulu ya bi.” Ucap ku seraya meninggalkan bi Ijah yang sedang menyapu teras rumah.
                Sudah tiga hari Putri tidak memberi ku kabar sejak ku antar dia pada saat sakit di sekolah beberapa hari lalu. Dan setiap kali ku hubungi, juga tak ada balasan dari Putri. Rasanya sebelum pergi mencari makan, alangkah baiknya ku temui dulu Putri di rumah nya untuk melihat keadaan nya.
                Setibanya di rumah Putri, ku parkirkan motorku di depan pagar rumah nya. Ku lihat ada seorang wanita seumuran dengan mama sedang asik merawat tanaman di perkarangan rumah Putri.
                “Sore tante, Putri nya ada..?” sapa ku sopan.
                “Ehh nak Vino, Putri nya lagi keluar Vin.” Jawab ibunya putri.
                “Kalau boleh tau kemana ya tan..?”
                “Tante kurang tau juga Vin, coba deh kamu hubungi Putri aja.” Balas ibu itu ramah.
                “Owh yaudah kalau gitu. Vino pamit dulu ya tan.” Kataku dan meninggalkan wanita tersebut.
                Sekarang pikiranku mulai kacau. Sebenarnya ada apa dengan Putri. Kenapa tidak membalas sms ku. Tidak pernah mengangkat telpon ketika aku hubungi. Mungkin hal ini harus aku selidiki.

***
                Jam istirahat pertama baru saja di mulai. Langsung saja aku menuju kelas X 5, tempat Radhit berada. Dan beruntung saat itu dia masih berada di dalam kelas. Ku hampiri dia yang sedang sibuk membereskan peralatannya di atas meja.
                “Hay dit.”
                “Eh kak Vino, ada apa kak.? Tumben datang ke kelas aku.?” Tanya radhit kebingungan.
                “Aku mau minta tolong nih dit, bisa.?” Ujar ku langsung ke inti permasalahan.
                “Minta tolong apa kak.?” Tanya radhit yang sekarang benar-benar terlihat penasaran.
                “ Entar pulang sekolah aku tunggu di tempat parkir, nanti kalau kamu udah di sana baru aku ceritain, gimana.?”
                “Oke deh kak, sip.” Jawab radhit yang ku anggap sudah mengiyakan permintaan ku tadi.
               
                Bel tanda pulang sekolah telah berbunyi. Langsung saja aku menuju tempat parkir dimana aku sudah membuat janji dengan Radhit tadi.
                Setelah beberapa menit menunggu, Radhit pun muncul.
                “Maaf kak kelamaan.”
                “Gak apa kok dit.”
                “Kalo boleh tau kak Vino mau minta bantuan apa ke aku.?” Tanya Radhit.
                Ku tunjuk seseorang yang baru saja keluar dari gerbang sekolah.
“Itu, kamu bisa tolong aku ngikutin wanita itu gak.?” Jelas ku.
“Owh yang itu ya. Terus habis itu.?” Tanya Radhit yang masih bingung.
“Ya ikutin aja. Entar kalo dia udah berhenti di suatu tempat kamu hubungi aku.” Jelas ku lagi.
“Oke deh kak.” Jawab radhit sambil mengangkat jempolnya ke arah ku.
Radhit pun berjalan mengikuti kemana anak wanita itu pergi.

Sekitar setengah jam aku masih berada di tempat parkir sekolah menunggu informasi dari Radhit. Dan kini ku rasakan sesuatu di kantong celana ku bergetar. Ya, benar saja itu sms dari Radhit.
Langsung saja ku baca sms dari Radhit.

“Kak Vino, orangnya lagi ada di taman kota nih. Lagi berduaan sama cwo nya menurut aku. Hihihihiiii..”

Jelas saja Radhit blak-blakan sms nya, mungkin karna dia belum mengetahui bahwa Putri masih berstatus pacar aku.
Langsung saja aku menuju ke tempat dimana Radhit berada.
“Dit, dimana cewek tadi.” Tanya ku setelah tiba di tempat Radhit berada.
“Tuh disana.” Jawab Radhit sambil menunjuk wanita yang sedang duduk dengan seorang cowok yang masih berseragam sekolah.
Ku lihat kedua orang tersebut, dan ternyata Putri sedang duduk bersama orang yang tak asing lagi bagi ku. Dia Rama, anak yang waktu itu sempat berbincang dengan ku. Tapi kenapa.
Belum saja kebingungan ku berakhir, kini sudah bisa ku tarik kesimpulan saat kedua orang tersebut saling mempertemukan bibir mereka di bangku taman tempat mereka duduk. Dan kejadian itu ku lihat dengan mata kepalaku sendiri.
Langsung saja aku hampiri mereka berdua. Ku lihat raut wajah Putri yang begitu kebingungan saat aku berada tepat di depan nya. Sedangkan Rama, terlihat seperti wajah kemenangan setelah mengalahkan ku.
“Hay Put, bisa lo jelasin semua ini.?” Tanya ku mencoba menahan emosi yang bisa saja meledak kapan pun.
“Kalau memang kamu udah lihat semua nya, aku hanya minta putus Vin.” Jawab Putri.
“Tapi kenapa put.?” Tanya ku.
“Eh Vin, Putri tuh lebih memilih gua dari pada lo, jadi enyah lo dari sini.” Jawab rama yang langsung saja memotong pembicaraan aku dan Putri.
Mendengar jawaban dari Rama, langsung saja ku layangkan beberapa pukulan kearah wajah nya. Seketika Rama terjatuh dari tempat dimana dia duduk.
“Gua gak minta jawaban dari lo, anjing.!!” Bentak ku pada anak itu.
Melihat situasi yang mulai memburuk, Radhit yang dari tadi melihat dari kejauhan langsung berlari kearahku, bermaksud menghentikan perkelahian kami. Sedangkan Putri hanya bisa terdiam membisu melihat kejadian ini.
“Kak Vino, tenang kak.” Ucap Radhit sambil menghalau tubuhku yang maih belum puas menghajar laki-laki itu.
“Makasih untuk semuanya put.” Ucapku dengan emosi yang bercampur aduk kepada Putri. “Dit, ayo kita jalan.”.
Seketika, kami berdua pun meninggalkan tempat yang tidak seharusnya ku singgahi tadi. Terlihat sepintas raut wajah putri yang meneteskan air mata. Sedangkan Radhit, masih terlihat bingung dengan semuanya yang yang baru saja terjadi.
Ku ajak Radhit menaiki motorku dan bermaksud mengantarnya pulang. Berhubung Radhit tidak membawa motornya hari ini.
“Dit, naik sini.” Ujarku sambil menepuk kursi belakang pada motorku.
Langsung saja Radhit naik dan mengikuti ku kemanapun aku membawanya.
Tanpa sadar bukannya mengantar Radhit pulang kerumah nya, aku malah membawanya ke rumahku. Mungkin karna pikiranku lagi kacau saat ini, sehingga tidak mengerti dengan apa yang sedang ku lakukan sekarang.
“Kak, ini rumahnya kak Vino.??” Tanya Radhit penasaran.
“Iya ini rumah aku. Masuk dulu yuk, nanti bentar lagi baru aku antar kamu pulang.”
Setibanya di rumah, langsung saja ku suruh Radhit menunggu sejenak di kamarku yang berada di lantai dua.
“Mau minum apa dit.??” Tanya ku menawarkan.
“Terserah aja deh kak.”
“Ya sudah tunggu bentar ya.” Aku pun pergi ke dapur mengambil sesuatu yang bisa di jadikan sesuatu untuk diminum.

Beberapa saat kemudian, aku pun kembali memberikan minuman dingin yang kebetulan selalu ada di dalam lemari es.
“Kak Vino. Tadi tuh pacar kakak ya.??” Tanya Radhit memulai pembicaraan.
“Bukan, mantan aku sekarang.” Balasku rada ketus.
“Owhh..” Jawab Radhit yang terkesan tidak mau melanjutkan pembicaraan tentang masalah tadi.
Ku lepaskan seragam yang mulai membuatku sesak. Ku baringkan tubuhku di atas kasur. Ya, aku lelah dengan semua ini. Tak lama kemudian Radhit pun ikut berbaring di sebelah ku.
Hening, hening, dan hening. Hingga aku telelap dalam dalam keheningan ini. Dan ku rasa Radhit pun juga begitu.

***
Kedip-kedip, pandangan yang samar. “Sial, Gua ketiduran.!!”

Teringat kembali dengan kejadian yang baru saja ku alami siang ini. Dan ku harap apa yang terjadi hari ini hanyalah sebuah mimpi. Mimpi horror di siang bolong yang menyeramkan. Setelah lambat laun kesadaranku mulai pulih, rasanya ada sesuatu yang mengganjal di perutku. Pantas saja, ternyata tangan Radhit yang sedang tertidur pulas melingkar di pinggang ku.
Ku singkirkan perlahan tangan kiri Radhit yang sedang memeluk ku. Ku tatap wajah polosnya yang terlihat damai saat sedang tertidur pulas. Terlihat begitu lepas tanpa masalah, tanpa beban. Dan jujur saja, dia terlihat lucu saat sedang tertidur.
Saat sedang asik ku amati wajahnya, tiba-tiba mata Radhit mulai terbuka perlahan dan kini kami saling bertatapan. Melihat aku dalam posisi ini, wajah Radhit pun memerah dan segera saja dia menutupi wajahnya dengan bantal.
“Aaaarrgh..!!! kak Vino apa-apaan sih.” Rengek Radhit.
“Baru di lihatin gitu aja udah mewek.. hahahahaa.” Canda ku kepada Radhit. “Udah bangun gih, aku antarin kamu balik, dah jam lima nih. Tapi cuci muka dulu sana.” Perintah ku.
“Iya iya.” Segera Radhit beranjak dari ranjang dan mulai melucuti pakaiannya satu-persatu.
“Ehh, kamu mau mandi dit.??” Tanyaku kepada Radhit yang hanya mengenakan celana pendek, setelah melucuti semua pakaiannya.
“Ehh.. umm.. enggak lah kak.”
“Terus itu kenapa pakaiannya di lepas semua.??” Tanyaku heran. “Kamu masih ngigau ya dit.??”
“Hehehee.” Radhit hanya bisa nyengir-nyengir salah tingkah.
Radhit pun kembali mengenakan pakaiannya. Dasar anak yang aneh. Dan setelah dia selesai membasuh mukanya, langsung saja ku antarkan dia pulang.
Sepanjang perjalanan hanya terasa hening. Dan keheningan itu hilang saat Radhit menanyakan pertanyaan konyolnya pada ku.
“Kak... Tadi pas aku baru bangun, kak Vino habis cium aku ya.??”
“Sapa yang cium kamu.?? Orang aku juga baru bangun kok..!!” jawabku membela diri. “Lagian kok kamu bisa nuduh aku gitu sih.??” Aku balik bertanya.
“Habisnya kak Vino kan baru putus sama pacarnya. Sapa tau aja kak Vino udah putar haluan jadi..................................” perkataan Radhit terhenti.
“Jiaaah, ngeyel kamu.” Balas ku yang sudah tau arah tujuan pembicaraan Radhit. “Lagian kalo aku udah putar haluan, kamu orang pertama yang bakal aku pacarin deh. Hahahaaa.”
Radhit hanya membalas dengan senyuman kecut sambil rada nyengir-nyengir gak jelas.

Setibanya di rumah Radhit.
“Masuk dulu yuk kak.” Ajak Radhit sambil menarik tangan ku.
“Aku gak bisa lama-lama tapi dit.”
“Yaudah gak apa. Yang penting kak Vino masuk dulu.”
Rumah Radhit terlihat begitu sepi. Saat sedang melihat sekeliling, ada sesuatu yang cukup menarik perhatianku. Sebuah lemari kaca yang diisi oleh medali, setifikat, dan beberapa trophy. Bahkan di bagian paling bawah lemari, ada baju basket yang tertera nomer 8 di bagian punggung.
“Ini semua punya kamu dit.??” Tanyaku
“Bukan kak, hanya medali yang itu punya aku.” Jawab Radhit sambil menunjuk salah satu medali yang ada di bagian paling atas.
“Terus sisanya punya siapa.??” Tanyaku yang kini benar-benar penasaran.
“Sisanya punya kak Nino, kakak kandung aku. Dan rasanya lemari ini juga gak bakal diisi lagi oleh penghargaan nya kak Nino.” Jawab Radhit rada lesu.
“Loh, emang kenapa.? Kalau dia bisa mendapatkan penghargaan sebanyak ini, rasanya menambah satu penghargaan lagi bukan hal yang susah kan buat dia.?”
“Iya, bukan hal yang susah buat kak Nino kalo dia masih hidup.” Jawab Radhit dengan senyuman kecut menghiasi wajahnya.
“Owh, maaf ya dit, aku gak tau.”
“Gak apa kok kak. Lagian kan ada kak Vino sebagai penggantinya kak Nino.” Ucap Radhit dengan senyum lebar penuh harapan.
Ku lirik sebuah foto yang terpajang di dinding. Ada foto sebuah keluarga kecil disana. Terdiri dari sepasang suami istri dan dua orang anak laki-laki.
“Dit, itu kakak kamu.??” Ku tunjuk salah satu orang yang berada di foto itu.
“Iya kak, mirip kan sama kak Vino.” Jawab Radhit.
“Kalo di lihat sepintas sih rada mirip juga.” Ucap ku membandingkan. “Kalo boleh tau, kakak kamu meninggal kenapa dit.??”
“Kak Nino kecelakaan waktu mau jemput aku pulang sekolah saat aku masih SMP sekitar dua tahun lalu. Dia meninggal saat perjalanan kerumah sakit. Kata dokter benturan keras di kepala kak Nino yang menyebabkan pendarahan di otak. Dan karna itu kak Nino gak bisa di selamatin” jelas Radhit.
“Terus orang tua kamu Dit.??”
“Mama lagi tugas keluar kota. Sedangkan papa, satu tahun lebih awal dari kak Nino.”
“Papa kamu juga..............??”
“Iya.” Radhit memotong ucapanku. “Papa meninggal karna serangan jangtung saat sedang tugas di balikpapan.” Jawab Radhit pelan.
Langsung saja ku dekap erat tubuh Radhit. Kini aku tahu ternyata beban hidupnya jauh lebih berat. Ku biarkan air mata Radhit membasahi pundak ku. Dan kurasa, memang ini yang dia butuhkan. Tempat untuk bersandar, tempat untuk cerita, tempat untuk melepas semua masalah yang membebaninya.
Dalam waktu yang cukup berdekatan, dua orang terpenting dalam hidupnya pergi untuk selamanya. Itu adalah cobaan yang sangat berat bagi Radhit. Sendiri di rumah, kehilangan sosok pemimpin keluarga. Beruntung Radhit cukup tegar menjalani nya. Dan semoga dia akan selalu begitu.

SEKALI LAGI...!!! OHH GOD....!!!



Bersambung......................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar