Setelah
akhir kisah cintaku dengan Putri, akhir-akhir ini aku menjadi dekat dengan
Radhit. Mungkin karna hanya dia orang yang tidak menolak jika aku ajak jalan
saat liburan ini.
Malam ini
ada pertandingan partai final antara Jerman melawan Spanyol. Dan berhubung juga
sedang liburan sekolah, jadi ku ajak Radhit untuk nonton bareng di luar. Pulang
larut malam di saat libur sekolah sudah pasti di ijinkan. Dan tempat yang ku
pilih adalah sebuah cafe di daerah semanggi.
Setibanya
di tempat yang menjadi tujuan kami, ku keluarkan sweeter dari tas selempang ku.
Dan langsung saja ku kenakan sweeter berwarna putih hitam dan bertuliskan “Der
Panzer” yang menandakan bahwa aku mengidolakan Jerman. Sedangkan Radhit yang
dari awal mengenakan baju berwarna merah, bernomor punggung 9 dan bertuliskan
Torres di atas nomor punggung tersebut, sudah jelas Spanyol yang di idolakannya.
Kami berdua
pun masuk dan memilih salah satu tempatyang cukup nyaman untuk menonton di
layar besar yang terpampang di bagian belakang cafe. Selagi menunggu komentator
yang berbicara panjang lebar tak tentu arah, kami mulai membuka obrolan kami
diantara hingar bingar para pengunjung cafe dengan warna di dominasi merah dan
putih.
“Kak Vino,
mending sweeternya di lepas aja deh. Udah pasti kok Jerman kalah.” ujar Radhit
optimis.
“Gak
salah dengar nih. Bukannya kaos kamu aja yang di lepas.”
“Kalo
di lepas, aku mau pake apa.” Ujar Radhit sambil melet-melet sok imut.
Di
sela-sela pembicaraan kami, seorang wanita berpakaiaan kaos putih datang
menghampiri kami.
“Mau
pesan apa mas.??” Ujar wanita tersebut.
“Coklat
panas satu.” Secara bersamaan aku dan Radhit memilih menu yang sama.
“Oke
deh, tunggu sebentar ya mas.” Kata wanita tersebut rada centil.
Entah
wanita itu belum pernah lihat berondong cakep, atau mungkin hanya tuntutan
profesi semata. Masa bodoh lah, hahahaa.
“Cantikan
mana pelayan tadi sama Putri.??” Tiba-tiba Radhit melontarkan pertanyaan konyol
padaku yang langsung saja membuatku tersentak kaget.
“Apaan
sih.” Jawabku rada jutek. “Kalo sama pacar kamu, cantikan mana.??” Ujarku balik
bertanya.
“Kalo
ada pacar juga, gak mungkin aku jalan sama kak Vino malam ini.”
“Tuh
si Luna temen sekelas kamu kan mantep tuh, kenapa gak coba di dekatin aja.”
“Cewe
kayak dia kak.?? Jadi pacar aku.?? Tunggu Spanyol menang dulu, baru aku tembak
dia.” Jawab Radhit sambil nyengir.
“Kalau
Jerman yang menang gimana.??” Tanyaku rada sangsi.
“Ya
berarti kak Vino yang nembak Luna.” Dengan santainya Radhit membalas pertanyaanku.
“Yaudah,
kalo gitu kita deal ya.”
“Maksudnya..!!”
“Ya
kita taruhan kan..?”
“Aku
kan gak serius bilang kayak tadi kak.”
“Ya
tapi kan kamu udah bilang, jadi kita deal aja deh.”
“Oke
deh kalo gitu, terserah kak Vino aja.”
Pertaruhan yang aneh memang untuk sebuah judi
bola.
***
Menjelang beberapa
menit sebelum babak pertama habis. Tiba-tiba, suasana di dalam ruangan itu pun
pecah dengan teriakan histeris.
GOOOOOOOOOOLL....!!!!!!!!
Secara
hampir bersamaan keheningan di dalam cafe pun sirna dikaranakan jaring dari Jerman
dapat di bobol oleh pemain Spanyol bernomer punggung 9.
“Jerman
bisa gak tuh.??” Kata Radhit meledek ku.
“Waktu
masih banyak. Kemungkinan masih ada.” Balasku singkat.
Di babak ke
dua, masih belum ada juga perubahan pada papan skor Jerman. Hingga peluit
panjang telah di tiupkan oleh wasit.
Prrrriiiitttt......!!!
Mereka yang
berbaju merah teriak histeris. Dengan bangganya bersorak sorai seperti orang
kerasukan setan. Termasuk orang yang duduk di sebelahku ini. Dengan tawa
kemenangan Radhit puas menghina negara yang ku dukung. Tapi semua tawa Radhit
terhenti saat ku ingatkan dia akan sesuatu.
“Ingat,
jangan lupa nembak si Luna.”
“Iya,
hari pertama masuk aku bakal tembak dia di belakang sekolah deh. Kak Vino jadi
saksi ntar.” Jawab Radhit.
***
Malam
ini adalah malam terakhir dalam libur panjang akhir semester. Yang ku lakukan
hanya terbaring di kasur sambil melihat langit-langit kamar ku. Tak ada yang
berubah memang. Hanya ada plafon putih di terangi oleh cahaya lampu kamar yang
sengaja aku nyalakan.
Ku
biarkan anganku melayang jauh, melintasi batas pikiran ku. Yang terlintas di
benak ku kini, hanya tentang apa yang akan terjadi besok. Ya, besok adalah hari
dimana Radhit harus menepati janjinya di malam itu. Malam dimana Spanyol
mempecundangi Jerman. Yang jadi pertanyaan ku kini, ada apa sebenarnya dengan
perasaan ku ini.? Kenapa aku menjadi takut.? Takut jika memang Radhit jadian
dengan Luna. Ini bukan tentang Luna yang tidak bisa ku dapatkan. Tapi ini semua
tentang Radhit. Kenapa sekarang aku malah takut kehilangan dia. Takut jauh
darinya. Sebenarnya apa yang terjadi pada diriku ini.? Apa mungkin
kalau..........................
“AKU SUKA SAMA RADHIT..??”
Apa bisa seorang Vino “SUKA SAMA COWOK..??”
Tuhan,
apa yang harus ku perbuat..?? Apa ini salah..?? Atau kah ini sesuatu yang
wajar..?? ARRRGGGHHH..!!!!!!!
***
Mentari terbit di
ufuk timur, senandung pagi yang di kumandangkan ayam jago saling bersahutan dan
dihiasi kicauan burung, terasa begitu damai di pagi ini. Sejenak semua berubah
saat teringat tentang apa yang akan terjadi beberapa jam lagi. Sesuatu yang
telah ku pikirkan semalaman, satu malam panjang yang terasa sangat gundah. Dan
hal itu akan terjadi dalam waktu yang tidak lama lagi. Tuhan, beranikah aku
melangkah untuk menatap dunia hari ini.?
Dan hari ini pun berjalan berbeda dari biasanya. Pikiran ku benar-benar
kacau hari ini. Yang jadi pertanyaan, “Haruskah..?”
Tidak ada satupun pelajaran yang masuk kedalam kepalaku hari ini. Semua
tertuju pada apa yang akan terjadi nanti. Tiba-tiba Radhit menyadarkan ku dari
lamunan ku.
“kak, ntar ya pulang sekolah”.
“ada apa pulang sekolah”. Tanyaku pura-pura lupa.
“pokoknya aku tunggu di belakang sekolah, oke kak”.
Kurasa kini Radhit benar-benar
menantang ku. Keringat mulai mengucur
memenuhi wajah ku. Ku beranikan diri untuk mengintip arloji yang ku kenakan.
“Sial..!” kata itu sejenak singgah di benak ku setelah kepastian waktu yang
telah ku dapatkan.
***
Dua jam, tepat setelah istirahat ini usai.
Krrriiiiinngg…!! krrriiiiinnnggg….!!
Genderang perang seakan telah di tabuh, sekarang semua tergantung pada
sang pejuang, sudah siap kah dia dengan pertempuran ini..? Detik ini bagai zona
kehancuran. Setiap langkah menuruni tangga pun terasa semakin berat. Anak
tangga ketiga baru saja ku lalui, tetapi kepala ku mendadak terasa berat,
keseimbangan ku mulai goyah, sekitar ku pun terasa berputar hebat. “Ada apa
ini..? apa yang terjadi..?” Dan semua terasa lebih ringan saat seorang anak
menabrak ku dari belakang, sejenak aku melayang menuju lantai dasar tanpa
menyentuh anak tangga. Dan……..
BBBRRRUUUUUKKK….!!!!
BBBRRRUUUUUKKK….!!!!
“Dimana aku..? Apa ini surga..? ahh tak mungkin, tempat ini begitu
familiar dengan ku. Owh ya ini kamar ku.”
Sejenak senyuman kecil menghiasi wajah ku. Aku mulai bangkit dari tempat
tidur ku. Ku lirik sebuah lemari pakaian berbentuk klasik dari kayu jati yang
berada di sudut kamar ku. Ku buka lemari itu dan ada sebuah laci di dalam nya.
Laci itu telah terkunci rapat. Ku masukan tangan ku di salah satu tumpukan
pakaian yang berada di lemari tersebut. “Dapat..!!” sebuah kunci kecil, dan
kunci kecil itu akan membuka laci yang berisi sebuah cerita besar. Ya, sebuah
cerita lama. Langsung saja ku buka laci itu. Ada selembar kertas di dalam nya.
Selembar kertas foto yang berisikan gambar dua orang remaja berseragam sekolah
sedang duduk di bangku taman. Ya, itu fotoku dan Radhit. Ku lirik bagian belakang
foto itu, terdapat sepenggal kalimat disana.
“Jika kau melupakan aku, aku akan
selalu mengingatkan mu. Tolong jangan pernah lupakan aku.”
Aku masih ingat foto ini. Foto yang diberikan Radhit sehari sebelum
kepergiannya. Kanker otak yang di idap Radhit adalah sebuah keadilan secara
profesional yang Tuhan berikan. Sebuah hadiah kematian yang terasa sangat tak
adil untuk ku. Maaf karna baru setahun kepergianmu aku sudah melupakanmu. Dan
terima kasih karna sudah kau ingat kan aku kembali.
Ku dekap erat foto itu. Mataku mulai berkaca-kaca, luapan air ini sudah
tak terbendung, dalam waktu singkat sebuah tangis pun tercipta.
Teringat kembali tentang kejadian satu tahun lalu. Ya, kejadian itu.
Saat aku temui Radhit di belakang sekolah. Saat itu semua terasa berbeda. Hanya
ada kami berdua disana. Saat ku Tanya dimana Luna, radhit dengan singkat
menjawab “Yang ingin aku jadikan pacar itu kak Vino, bukan Luna”. Dan disana
lah kami berdua resmi berpacaran. Tepat disana juga aku melakukan ciuman
pertama ku dengan seseorang yang sejenis dengan ku.
Maaf…… Sekali lagi maaf….. Aku tak bisa menemani mu lagi….. sampai jumpa
lagi di kehidupan yang sedang kau jalani sekarang… Tunggu aku….
Tamat………………………………………….…….
masih ada angka lain yang belum keluar (Nantikan)
masih ada angka lain yang belum keluar (Nantikan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar