Part IV
(hanya tentang cita)
Tak terasa kini telah memasuki hari
sabtu. Menurut teman-teman sekelasku kemarin, hari ini adalah hari Student day.
Ya. Hari dimana siswa bisa mengembangkan bakatnya di bidang seni dan olahraga.
Selain itu, tepat di hari ini juga seleksi penerimaan anggote team basket
sekolah akan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Asik dengan
lamunanku, tiba-tiba seseorang datang menghampiriku.
“Dek,
di tunggu dilapangan ya, jangan lupa formulirnya dibawa sekalian.” Ujar orang
tersebut.
“Oke
deh kak. Aku beresin barang-barangku dulu.”
Ya,
orang tersebut adalah orang yang merekrutku kemarin untuk bisa mengikuti
seleksi team basket sekolah. Langsung saja ku bereskan barang-barangku yang
masih berserakan diatas meja dan bergegas menuju lapangan seperti yang
diperintahkan oleh senior tersebut.
Setibanya
dilapangan, sudah terlihat cukup banyak anak yang berkerumun disana. Aku pun
ikut masuk kedalam kerumunan tersebut dan mengambil bagian disana. Tanpa ku
duga ternyata Bayu juga berada didalam kerumunan tersebut. Terlihat Bayu sedang
cengar-cengir menatapku, seakan ada sesuatu yang lucu. Ku balas gerak tubuhnya
tersebut dengan sebuah senyuman tipis.
Dialog
singkat tanpa kata tersebut seketika terhenti saat seorang cowok berbadan
atletis datang dan mengambil posisi di depan kami. Pakaian tanpa lengan yang
dikenakannya di tambah lagi sepatu sport yang berada di kakinya, memberikan ku
sebuah mainset bahwa dia adalah pemain basket. Tapi, apa yang dilakukan seorang
pemain basket dengan sebuah berkas yang terselip diatas papan oles, pena, dan
peluit. Rasanya dia lebih tepat jika dikatakan sebagai pelatih basket.
“Perkenalkan,
nama saya Yudha Arvy, kalian bisa panggil saya Yudha. Saya petatih team basket
di sekolah ini. Sekarang saya masih melanjutkan studi dan baru semester empat
di Fakultas Hukum” ujar cowok tersebut.
Yang
benar saja masih semester empat.? Berarti umurnya kisaran dua puluh tahunan.?
Rasanya masih terlalu muda untuk memimpin sebuah team basket sekolah.
“Sekarang
silahkan ganti pakaian kalian. Saya tunggu lima belas menit dari sekarang.”
Bergegas
kami semua menuju kamar mandi untuk mengganti seragam kami. Tidak terlalu
banyak memang jumlah mereka yang mengikuti seleksi. Kisaran tiga puluh orangan.
Berhubung waktu yang diberikan tidak begitu banyak. Apa boleh buat dalam satu
kamar mandi diisi oleh dua tiga orang yang ingin mengganti seragamnya. Ku
tunggu seseorang yang masih di dalam salah satu kamar mandi yang berada di
paling pojok. Saat pintu kamar mandi terbuka, dan muncucul sosok seseorang yang
menampakkan wujudnya. Dan ternyata orang tersebut tak asing bagi ku. Ya, kak
Vino. Ku rasa dia tak menghiraukanku saat itu dan langsung bergegas
meninggalkan areal tersebut.
Aku
pun masuk kedalam kamar mandi yang telah kosong tersebut. Saat hendak menutup
pintu, tiba-tiba muncul tangan seseorang yang menghalangi agar pintu tersebut
tidak tertutup.
“Ganti
bareng ya.? Lama kalau nungguin yang lain.” Ucap Bayu
“Yaudah
kalau gitu, masuk.” Jawabku mengiyakan walau pun masih terasa berat.
Bayu
pun ikut masuk kedalam kamar mandi. Ku tutup rapat pintu tersebut. Kami pun
melucuti pakaian kami satu per satu. Dan menggantinya dengan pakaian yang sudah
kami siapkan untuk seleksi hari ini. Sebenarnya ini hal biasa, hanya sekedar
melucuti pakaian dan menggantinya dengan pakaian lainnya. Tapi yang membuat ini
luar biasa, mengganti pakaian dengan seseorang di kamar mandi. Entah itu hal
yang lumrah atau akan di jadikan sebagai bahan gossip yang memuakan kelak.
Maklum saja, aku anak rumahan. Dalam aktivitas seperti ini harusnya sudah masuk
ke dalam kawasan pribadiku.
“Tampang
lo doank yang cakep, tapi barang lo kecil.” Pernyataan konyol itu keluar dari
mulut Bayu.
Ku
tarik karet celanaku dan melihat kedalam celana.
“Perasaan
biasa aja deh Bay.” Ujarku kepada Bayu.
“Iya
gue tau biasa. Lo gak kenal apa itu yang namanya lelucon ya.?” Tanya Bayu
kepada ku.
“Owh
jadi tadi lo ngelawak ya.? Tanyaku balik.
Sekarang
Bayu hanya bisa menepuk keningnya tanpa berbicara sepatah kata pun. Sedangkan
aku hanya bisa membalas aksi Bayu tersebut dengan nyegir ala kuda. Ya, lagian
pembawaannya terhadap pernyataan tersebut terkesan serius dan tak ku sangka
bahwa itu hanya sebuah lelucon.
Kami
bergegas kembali dalam barisan, berkumpul bersama anak-anak lain yang juga
mengikuti seleksi tersebut. Kini mereka yang sudah terdaftar termasuk aku mulai
menjalani seleksi. Cukup berat memang, apa lagi semasa SMP dulu aku tidak
pernah ikut dalam team basket. Kami di tes teknik dasar dalam bermain basket.
Mulai dari passing, dribbling, shooting, three point shoot, hook shot, lay out,
dan runner. Dengan gampangnya ku lihat Bayu melakukan semua itu. Tidak seperti
aku, yang hanya belajar secara instan dan hasil dari mencari-cari lewat
internet.
Kini
tiba saat nya bang Yudha selaku pelatih kami mungumumkan hasil yang sedari tadi
berada di dalam catatannya. Dari awal aku sudah kehilangan asa, berpikir tak
akan mungkin lolos dalam seleksi ini. Tapi ternyata dugaan ku salah. Bang Yudha
selaku pelatih justru meletakkan ku sebagai pemain utama dalam team inti.
“Loh
bang, kok bisa.?” Tanyaku heran.
“Lo
kan udah usaha. Dan kelihatannya lo ikut seleksi bukan cuma sekedar buat pamer
doank bahwa lo adalah anak basket.” Jawab bang Yudha dengan santainya. “Lagian
gue yakin, setelah ini lo bakal berlatih sungguh-sungguh.” lanjutnya
Kini
aku mengerti. Ternyata hanya karna alasan sesimple itu bang Yudha meloloskan
ku. Cukup beruntung dibandingkan dengan mereka yang sudah tereliminasi
sekarang. Sedangkan Bayu, bukan salah satu dari mereka yang tereliminasi saat
itu. Dia juga lolos dalam seleksi ini. Hal yang wajar, karna dilihat dari
permainannya, dia cukup handal.
Sebelum
pulang, bang Yudha mengingatkan kepada kami yang baru saja bergabung sebagai
anggota agar besok mengumpulkan uang seratus ribu untuk membuat seragam yang
akan kami kenakan untuk bertanding. Dan mencatar nama dan nomor yang akan di
kenakan pada seragam kami nanti.
Ya,
angka delapan. Itu tujuanku berada disini. Dan angka itulah yang ku tuliskan
untuk dikenakan pada seragamku nanti.
***
Kurang
dari seminggu lagi akan ku tinggalkan seragam putih biru ini. Tapi sebelum itu
terjadi, ada moment besar yang akan terjadi dalam tiga hari berturut-turut. Ya,
porseni sekolah. Ajang dimana siswa bisa menampilkan bakat olahraga dan seninya
dalam sebuah perlombaan. Setiap siswa mungkin tidak di wajibkan mendaftar. Tapi
setiap kelas diwajibkan memiliki peserta untuk mengikuti perlombaan yang
diadakan dalam porseni tersebut. Aku, Bayu dan beberapa anak lain di tunjuk
untuk mewakili kelas kami dalam perlombaan basket. Ya, walau ini hanya ajang
memperebutkan trophy semata, tapi bermakna besar bagi mereka yang
terpecundangi. Terutama jika yang terpecundangi adalah kelas atas.
Memang
tak ada waktu latihan bagi kami, selain karna waktu yang sempit, jarak rumah
kami pun saling berjauhan. Kecuali Bayu, dia tinggal tak jauh dari rumahku,
hanya terhitung dua blok. Dan sore ini kami sudah janjian untuk berlatih
sekedarnya di lapangan yang ada dalam komplek perumahan kami.
**
Sudah
terasa begitu lama aku menunggu. Tapi masih belum ada tanda-tanda kedatangan
Bayu. Waktu di arloji ku menunjukan tepat pukul tujuh malam. Mungkin dia tidak
bisa datang malam ini. Saat aku mulai beranjak dan akan meninggalkan tempat
tersebut, tiba-tiba terdengar suara Bayu memanggil nama ku.
Dengan
bola yang dirangkul d tangan kanannya, dia berlari ke arahku. Berharap agar aku
membatalkan niat untuk meninggalkan terpat tersebut.
“Sorry
Dit, gue telat. Habis temanin nyokap belanja tadi.” Dengan napas yang masih
terengah-engah Bayu mencoba menjelaskan
padaku.
“owh
gak apa kok Bay.” Jawabku memakluminya.
“Terus
bagaimana.? Mau dilanjutin.?” Tanya Bayu.
Dengan
cepat ku ambil bola di tangan Bayu. Dia pun mengejar ku dan berusaha merebut
bola yang kini dibawah kendali ku. bahkan tanpa berkata-kata pun ku rasa Bayu
sudah mengerti jawaban yang ku berikan.
Dan
malam itu kami lewatkan dengan sebuah permainan tanpa aturan hingga cukup larut
dan letih memaksa kami untuk meninggalkan tempat itu dan mengakhiri kegiatan
kami.
“Gue
udah gak kuat. Kita udahan aja ya.?” Ujarku dalam keadaan yang masih
ngos-ngosan.
“Yaudah
kalo gitu kita istirahat dulu.”
Kami
pun istirahat sejenak. Setelah itu kami beranjak dan meninggalkan tempat
tersebut, berjalan pulang menuju rumah. Sepanjang perjalanan kami berbincang
tentang segala hal. Tak terasa kini kami sudah berada tepat di depan rumahku.
“Dit,
gue minta minum ya.?” Ujar Bayu.
“Yaudah,
masuk dulu yuk kalau gitu.” Ajakku padanya.
“Wah
gak enak gue sama orangtua lo Dit.”
“Hahahahaa,
mereka belum pada pulang kok.”
Ya
jelas lah, kalau mama sedang melakukan kunjungan kerja ke cabang perusahaan
mama yang ada di Bandung. Sedangkan papa, dijamin gak bakalan pulang lagi. Udah
betah disana sama kak Nino.
Walau
rada sungkan, Bayu pun masuk kedalam rumahku sambil mengikutiku dari belakang.
Padahal sudah ku beritahu bahwa aku sendirian di rumah, tapi masih saja
sungkan. Ku ambilkan segelas air untuk Bayu. Bukannya aku pelit, tapi hanya itu
yang ada di rumah.
“Udah
yang di kasih air putih doank, mana cuma satu gelas lagi. Pelit amat.” Komplain
Bayu padaku.
“Bukannya
terima kasih malah marah-marah. Udah sukur di kasih gratis.” Balas ku padanya.
“Iya
iya. Tambahin lagi dong Dit.” Kini Bayu memelas padaku.
“Ambil
sendiri sana di dapur, gue mau mandi dulu. Nanti kalau pulang pintunya di
rapatin aja.”
“Oke
deh Dit.”
Aku
pun meninggalkan anak itu sendiri dan menuju lantai atas. Ku ambil handuk dan
masuk ke kamar mandi yang berada di samping kamar ku. Ritual mandi kali ini
lebih larut dari biasanya. Jelas saja, ini sudah hampir jam sembilan malam.
Berhubung keadaan yang semakin dingin, ku percepat ritual mandi ku. Tidak
kurang dari lima belas menit, ritual sakral itu pun berakhir.
Dengan
handuk melingkar di pinggangku, aku pun jalan menuju kamar dan hendak
mengenakan pakaian. Baru saja aku memasuki pintu kamar, ku lihat sesosok mahluk
yang sedang berbaring di atas kasur ku. seketika aku pun tersentak kaget,
begitu pun mahluk tersebut yang terlihat cukup kaget dengan kedatangan ku.
“Lo
kenapa masih disini Bay.!!” Bentakku terhadap Bayu.
“Ya
gak apa kan. Lagian gue mau nginap disini malam ini.”
“Terus
pakaian lo besok.?”
“Ini
di dalam tas, tadi gue pulang dulu ambil pakaian.” Jelas Bayu.
“Lah,
emangnya gue setuju lo nginap disini.?”
Bayu
pun beranjak dari tidurnya dan menuju kearahku. Hingga begitu dekat denganku,
dan kini jarak bibirnya dan telingaku sangat dekat hingga deru napasnya
terdengar jelas olehku. Suasana begitu hening hingga membuatku cukup gugup dan
grogi malam ini. Entah apa yang akan dilakukan Bayu saat ini, aku juga tak
mengerti. Kurasakan jemari Bayu mendekati perut ku.
“Lo
pasti ngijinin gue.” Bisiknya. Walau terdengar pelan, tapi sangat jelas perkataannya.
Seketika
tangan Bayu dengan cepat menarik handuk yang melilit di pinggangku. Kemudian
dengan sigap dia berlari kearah kamar mandi. Kedua telapak tanganku menutupi
sesuatu yang harusnya tetap menjadi rahasia negara. Muka ku memerah. Entah karna
marah, malu, kesal, jengkel, atau lucu. Saat itu emosiku benar-benar campur
aduk.
“BAYU…!!!
BANGSAT LO….!!!!”
Teriakan
dan caci maki ku hanya di tanggapi dengan tawa kemenangan oleh Bayu yang
terdengar dari kamar mandi. Rasanya ingin ku banting anak itu sekarang juga.
Tapi mungkin sebaiknya ku kenakan pakaian dulu sebelum Bayu selesai dengan
mandinya.
Setelah
selesai aku berpakaian, tak lama kemudian Bayu pun muncul. Dia hanya mengintip
dari depan pintu kamar ku sambil senyum-senyum.
“Cemberut
aja bang.?” Sindirnya padaku.
“Ahh,
bangsat lo Bay.”
“Gwahahahhaaaaa.”
Cacianku
hanya dibalas oleh sebuah tawa yang lepas dari Bayu. Ya, baginya itu lucu, tapi
bagiku itu menjengkelkan. Dan kami pun mengakhiri segala sesuatunya di hari
ini, perlahan tidur dan tebuai dalam alunan mimpi. Berharap, esok adalah hari
kami.
***
Ini
adalah hari terakhir dalam acara Porseni di sekolahku. Team basket dari kelasku
gagal di perempat final kemarin dan hanya mendapatkan medali juara ketiga.
Kusematkan medali tersebut di dalam lemari pernghargaan kak Vino. Kini kami
yang mewakili dari cabang perlombahaan basket hari ini bebas untuk
melihat-lihat pertandingan lain. Ya, tak ada aktivitas yang membebani ku untuk
bertanding hari ini. Jadi ku pilih untuk berjalan-jalan mengitari sekolah. Tapi
langkahku kini terhenti tepat di depan aula sekolah, terhenti oleh sebuah
alunan musik yang tak asing bagiku. “Cerita dari selatan Jakarta.” Ya, aku
kenal lagu ini. Lagu yang begitu merdu dan sarat akan makna.
Kini
rasa penasaran menghampiriku. Bertanya-tanya tentang siapa orang yang memainkan
lagu tersebut. Ku langkahkan kakiku menuju ke dalam aula. Perlombaan musik
sedang dilangsungkan disini. Cukup ramai memang keadaan didalam sini. Tapi kini
aku terbelak kaget setelah melihat seseorang diatas panggung yang sedang
bermain piano solo melantunkan lagu dengan tema retro tersebut. Kak Vino. Tak
kusangka dia bisa bermain piano sebagus itu. Selain itu suaranya cukup enak
untuk didengar.
“Kenapa.?
Apa berharap lagu itu dimaikan khusus untuk lo.?”
Seseorang
melontarkan sebuah pertanyaan terhadapku. Memecah konsentrasiku terhadap alunan
musik yang sedang dimainkan. Ya, seorang teman lama yang kini selalu
mengusikku. Aku hanya bisa tertunduk membisu tanpa sepatah kata pun. Tak bisa
ku jawab pertanyaan yang dilontarkannya padaku.
“Kenapa
diam.? Apa gue benar tentang itu.?”
Kembali
dilontarkannya pertanyaan yang sama sekali tak bisa ku jawab. Ya, hanya diam
dan membisu. Seketika kepalaku terasa berat, sekejap pandanganku menjadi buram.
Padat dan sesak didalam ruangan ini membuatku merasa tak nyaman. Tepat pada
saat lagu berakhir, badanku pun terhempas ke lantai. Banyak mereka yang panik
melihat ku. Tapi, sebelum mata ini benar-benar tertutup rapat dan hilang
kesadaran. Terlihat walau samar, seorang anak yang melambaikan tangan padaku
sambil tersenyum sinis. Dan kemudian dia pun hilang dibalik pintu, pergi
meninggalkan kekacauan yang terjadi didalam aula, yang disusul oleh hilangnya
kesadaranku.
“Semua
tentang cita.”
Bersambung………………………………………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar