Sabtu, 02 Februari 2013

Dibalik Cermin IV (Spin off Radhit)

 Part IV

(hanya tentang cita)



               Tak terasa kini telah memasuki hari sabtu. Menurut teman-teman sekelasku kemarin, hari ini adalah hari Student day. Ya. Hari dimana siswa bisa mengembangkan bakatnya di bidang seni dan olahraga. Selain itu, tepat di hari ini juga seleksi penerimaan anggote team basket sekolah akan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Asik dengan lamunanku, tiba-tiba seseorang datang menghampiriku.


                “Dek, di tunggu dilapangan ya, jangan lupa formulirnya dibawa sekalian.” Ujar orang tersebut.
                “Oke deh kak. Aku beresin barang-barangku dulu.”


                Ya, orang tersebut adalah orang yang merekrutku kemarin untuk bisa mengikuti seleksi team basket sekolah. Langsung saja ku bereskan barang-barangku yang masih berserakan diatas meja dan bergegas menuju lapangan seperti yang diperintahkan oleh senior tersebut.

                Setibanya dilapangan, sudah terlihat cukup banyak anak yang berkerumun disana. Aku pun ikut masuk kedalam kerumunan tersebut dan mengambil bagian disana. Tanpa ku duga ternyata Bayu juga berada didalam kerumunan tersebut. Terlihat Bayu sedang cengar-cengir menatapku, seakan ada sesuatu yang lucu. Ku balas gerak tubuhnya tersebut dengan sebuah senyuman tipis.

                Dialog singkat tanpa kata tersebut seketika terhenti saat seorang cowok berbadan atletis datang dan mengambil posisi di depan kami. Pakaian tanpa lengan yang dikenakannya di tambah lagi sepatu sport yang berada di kakinya, memberikan ku sebuah mainset bahwa dia adalah pemain basket. Tapi, apa yang dilakukan seorang pemain basket dengan sebuah berkas yang terselip diatas papan oles, pena, dan peluit. Rasanya dia lebih tepat jika dikatakan sebagai pelatih basket.

                “Perkenalkan, nama saya Yudha Arvy, kalian bisa panggil saya Yudha. Saya petatih team basket di sekolah ini. Sekarang saya masih melanjutkan studi dan baru semester empat di Fakultas Hukum” ujar cowok tersebut.

                Yang benar saja masih semester empat.? Berarti umurnya kisaran dua puluh tahunan.? Rasanya masih terlalu muda untuk memimpin sebuah team basket sekolah.


                “Sekarang silahkan ganti pakaian kalian. Saya tunggu lima belas menit dari sekarang.”


                Bergegas kami semua menuju kamar mandi untuk mengganti seragam kami. Tidak terlalu banyak memang jumlah mereka yang mengikuti seleksi. Kisaran tiga puluh orangan. Berhubung waktu yang diberikan tidak begitu banyak. Apa boleh buat dalam satu kamar mandi diisi oleh dua tiga orang yang ingin mengganti seragamnya. Ku tunggu seseorang yang masih di dalam salah satu kamar mandi yang berada di paling pojok. Saat pintu kamar mandi terbuka, dan muncucul sosok seseorang yang menampakkan wujudnya. Dan ternyata orang tersebut tak asing bagi ku. Ya, kak Vino. Ku rasa dia tak menghiraukanku saat itu dan langsung bergegas meninggalkan areal tersebut.

                Aku pun masuk kedalam kamar mandi yang telah kosong tersebut. Saat hendak menutup pintu, tiba-tiba muncul tangan seseorang yang menghalangi agar pintu tersebut tidak tertutup.


                “Ganti bareng ya.? Lama kalau nungguin yang lain.” Ucap Bayu
                “Yaudah kalau gitu, masuk.” Jawabku mengiyakan walau pun masih terasa berat.


                Bayu pun ikut masuk kedalam kamar mandi. Ku tutup rapat pintu tersebut. Kami pun melucuti pakaian kami satu per satu. Dan menggantinya dengan pakaian yang sudah kami siapkan untuk seleksi hari ini. Sebenarnya ini hal biasa, hanya sekedar melucuti pakaian dan menggantinya dengan pakaian lainnya. Tapi yang membuat ini luar biasa, mengganti pakaian dengan seseorang di kamar mandi. Entah itu hal yang lumrah atau akan di jadikan sebagai bahan gossip yang memuakan kelak. Maklum saja, aku anak rumahan. Dalam aktivitas seperti ini harusnya sudah masuk ke dalam kawasan pribadiku.


                “Tampang lo doank yang cakep, tapi barang lo kecil.” Pernyataan konyol itu keluar dari mulut Bayu.
                Ku tarik karet celanaku dan melihat kedalam celana.
                “Perasaan biasa aja deh Bay.” Ujarku kepada Bayu.
                “Iya gue tau biasa. Lo gak kenal apa itu yang namanya lelucon ya.?” Tanya Bayu kepada ku.
                “Owh jadi tadi lo ngelawak ya.? Tanyaku balik.


                Sekarang Bayu hanya bisa menepuk keningnya tanpa berbicara sepatah kata pun. Sedangkan aku hanya bisa membalas aksi Bayu tersebut dengan nyegir ala kuda. Ya, lagian pembawaannya terhadap pernyataan tersebut terkesan serius dan tak ku sangka bahwa itu hanya sebuah lelucon.

                Kami bergegas kembali dalam barisan, berkumpul bersama anak-anak lain yang juga mengikuti seleksi tersebut. Kini mereka yang sudah terdaftar termasuk aku mulai menjalani seleksi. Cukup berat memang, apa lagi semasa SMP dulu aku tidak pernah ikut dalam team basket. Kami di tes teknik dasar dalam bermain basket. Mulai dari passing, dribbling, shooting, three point shoot, hook shot, lay out, dan runner. Dengan gampangnya ku lihat Bayu melakukan semua itu. Tidak seperti aku, yang hanya belajar secara instan dan hasil dari mencari-cari lewat internet.

                Kini tiba saat nya bang Yudha selaku pelatih kami mungumumkan hasil yang sedari tadi berada di dalam catatannya. Dari awal aku sudah kehilangan asa, berpikir tak akan mungkin lolos dalam seleksi ini. Tapi ternyata dugaan ku salah. Bang Yudha selaku pelatih justru meletakkan ku sebagai pemain utama dalam team inti.


                “Loh bang, kok bisa.?” Tanyaku heran.
                “Lo kan udah usaha. Dan kelihatannya lo ikut seleksi bukan cuma sekedar buat pamer doank bahwa lo adalah anak basket.” Jawab bang Yudha dengan santainya. “Lagian gue yakin, setelah ini lo bakal berlatih sungguh-sungguh.” lanjutnya


                Kini aku mengerti. Ternyata hanya karna alasan sesimple itu bang Yudha meloloskan ku. Cukup beruntung dibandingkan dengan mereka yang sudah tereliminasi sekarang. Sedangkan Bayu, bukan salah satu dari mereka yang tereliminasi saat itu. Dia juga lolos dalam seleksi ini. Hal yang wajar, karna dilihat dari permainannya, dia cukup handal.

                Sebelum pulang, bang Yudha mengingatkan kepada kami yang baru saja bergabung sebagai anggota agar besok mengumpulkan uang seratus ribu untuk membuat seragam yang akan kami kenakan untuk bertanding. Dan mencatar nama dan nomor yang akan di kenakan pada seragam kami nanti.

                Ya, angka delapan. Itu tujuanku berada disini. Dan angka itulah yang ku tuliskan untuk dikenakan pada seragamku nanti.



***


                Kurang dari seminggu lagi akan ku tinggalkan seragam putih biru ini. Tapi sebelum itu terjadi, ada moment besar yang akan terjadi dalam tiga hari berturut-turut. Ya, porseni sekolah. Ajang dimana siswa bisa menampilkan bakat olahraga dan seninya dalam sebuah perlombaan. Setiap siswa mungkin tidak di wajibkan mendaftar. Tapi setiap kelas diwajibkan memiliki peserta untuk mengikuti perlombaan yang diadakan dalam porseni tersebut. Aku, Bayu dan beberapa anak lain di tunjuk untuk mewakili kelas kami dalam perlombaan basket. Ya, walau ini hanya ajang memperebutkan trophy semata, tapi bermakna besar bagi mereka yang terpecundangi. Terutama jika yang terpecundangi adalah kelas atas.

                Memang tak ada waktu latihan bagi kami, selain karna waktu yang sempit, jarak rumah kami pun saling berjauhan. Kecuali Bayu, dia tinggal tak jauh dari rumahku, hanya terhitung dua blok. Dan sore ini kami sudah janjian untuk berlatih sekedarnya di lapangan yang ada dalam komplek perumahan kami.

               
**

               
                Sudah terasa begitu lama aku menunggu. Tapi masih belum ada tanda-tanda kedatangan Bayu. Waktu di arloji ku menunjukan tepat pukul tujuh malam. Mungkin dia tidak bisa datang malam ini. Saat aku mulai beranjak dan akan meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba terdengar suara Bayu memanggil nama ku.

                Dengan bola yang dirangkul d tangan kanannya, dia berlari ke arahku. Berharap agar aku membatalkan niat untuk meninggalkan terpat tersebut.


                “Sorry Dit, gue telat. Habis temanin nyokap belanja tadi.” Dengan napas yang masih terengah-engah Bayu mencoba  menjelaskan padaku.
                “owh gak apa kok Bay.” Jawabku memakluminya.
                “Terus bagaimana.? Mau dilanjutin.?” Tanya Bayu.


                Dengan cepat ku ambil bola di tangan Bayu. Dia pun mengejar ku dan berusaha merebut bola yang kini dibawah kendali ku. bahkan tanpa berkata-kata pun ku rasa Bayu sudah mengerti jawaban yang ku berikan.

                Dan malam itu kami lewatkan dengan sebuah permainan tanpa aturan hingga cukup larut dan letih memaksa kami untuk meninggalkan tempat itu dan mengakhiri kegiatan kami.


                “Gue udah gak kuat. Kita udahan aja ya.?” Ujarku dalam keadaan yang masih ngos-ngosan.
                “Yaudah kalo gitu kita istirahat dulu.”


                Kami pun istirahat sejenak. Setelah itu kami beranjak dan meninggalkan tempat tersebut, berjalan pulang menuju rumah. Sepanjang perjalanan kami berbincang tentang segala hal. Tak terasa kini kami sudah berada tepat di depan rumahku.


                “Dit, gue minta minum ya.?” Ujar Bayu.
                “Yaudah, masuk dulu yuk kalau gitu.” Ajakku padanya.
                “Wah gak enak gue sama orangtua lo Dit.”
                “Hahahahaa, mereka belum pada pulang kok.”


                Ya jelas lah, kalau mama sedang melakukan kunjungan kerja ke cabang perusahaan mama yang ada di Bandung. Sedangkan papa, dijamin gak bakalan pulang lagi. Udah betah disana sama kak Nino.

                Walau rada sungkan, Bayu pun masuk kedalam rumahku sambil mengikutiku dari belakang. Padahal sudah ku beritahu bahwa aku sendirian di rumah, tapi masih saja sungkan. Ku ambilkan segelas air untuk Bayu. Bukannya aku pelit, tapi hanya itu yang ada di rumah.


                “Udah yang di kasih air putih doank, mana cuma satu gelas lagi. Pelit amat.” Komplain Bayu padaku.
                “Bukannya terima kasih malah marah-marah. Udah sukur di kasih gratis.” Balas ku padanya.
                “Iya iya. Tambahin lagi dong Dit.” Kini Bayu memelas padaku.
                “Ambil sendiri sana di dapur, gue mau mandi dulu. Nanti kalau pulang pintunya di rapatin aja.”
                “Oke deh Dit.”


                Aku pun meninggalkan anak itu sendiri dan menuju lantai atas. Ku ambil handuk dan masuk ke kamar mandi yang berada di samping kamar ku. Ritual mandi kali ini lebih larut dari biasanya. Jelas saja, ini sudah hampir jam sembilan malam. Berhubung keadaan yang semakin dingin, ku percepat ritual mandi ku. Tidak kurang dari lima belas menit, ritual sakral itu pun berakhir.

                Dengan handuk melingkar di pinggangku, aku pun jalan menuju kamar dan hendak mengenakan pakaian. Baru saja aku memasuki pintu kamar, ku lihat sesosok mahluk yang sedang berbaring di atas kasur ku. seketika aku pun tersentak kaget, begitu pun mahluk tersebut yang terlihat cukup kaget dengan kedatangan ku.


                “Lo kenapa masih disini Bay.!!” Bentakku terhadap Bayu.
                “Ya gak apa kan. Lagian gue mau nginap disini malam ini.”
                “Terus pakaian lo besok.?”
                “Ini di dalam tas, tadi gue pulang dulu ambil pakaian.” Jelas Bayu.
                “Lah, emangnya gue setuju lo nginap disini.?”


                Bayu pun beranjak dari tidurnya dan menuju kearahku. Hingga begitu dekat denganku, dan kini jarak bibirnya dan telingaku sangat dekat hingga deru napasnya terdengar jelas olehku. Suasana begitu hening hingga membuatku cukup gugup dan grogi malam ini. Entah apa yang akan dilakukan Bayu saat ini, aku juga tak mengerti. Kurasakan jemari Bayu mendekati perut ku.


                “Lo pasti ngijinin gue.” Bisiknya. Walau terdengar pelan, tapi sangat jelas perkataannya.


                Seketika tangan Bayu dengan cepat menarik handuk yang melilit di pinggangku. Kemudian dengan sigap dia berlari kearah kamar mandi. Kedua telapak tanganku menutupi sesuatu yang harusnya tetap menjadi rahasia negara. Muka ku memerah. Entah karna marah, malu, kesal, jengkel, atau lucu. Saat itu emosiku benar-benar campur aduk.


                “BAYU…!!! BANGSAT LO….!!!!”


                Teriakan dan caci maki ku hanya di tanggapi dengan tawa kemenangan oleh Bayu yang terdengar dari kamar mandi. Rasanya ingin ku banting anak itu sekarang juga. Tapi mungkin sebaiknya ku kenakan pakaian dulu sebelum Bayu selesai dengan mandinya.

                Setelah selesai aku berpakaian, tak lama kemudian Bayu pun muncul. Dia hanya mengintip dari depan pintu kamar ku sambil senyum-senyum.


                “Cemberut aja bang.?” Sindirnya padaku.
                “Ahh, bangsat lo Bay.”
                “Gwahahahhaaaaa.”


                Cacianku hanya dibalas oleh sebuah tawa yang lepas dari Bayu. Ya, baginya itu lucu, tapi bagiku itu menjengkelkan. Dan kami pun mengakhiri segala sesuatunya di hari ini, perlahan tidur dan tebuai dalam alunan mimpi. Berharap, esok adalah hari kami.



***


                Ini adalah hari terakhir dalam acara Porseni di sekolahku. Team basket dari kelasku gagal di perempat final kemarin dan hanya mendapatkan medali juara ketiga. Kusematkan medali tersebut di dalam lemari pernghargaan kak Vino. Kini kami yang mewakili dari cabang perlombahaan basket hari ini bebas untuk melihat-lihat pertandingan lain. Ya, tak ada aktivitas yang membebani ku untuk bertanding hari ini. Jadi ku pilih untuk berjalan-jalan mengitari sekolah. Tapi langkahku kini terhenti tepat di depan aula sekolah, terhenti oleh sebuah alunan musik yang tak asing bagiku. “Cerita dari selatan Jakarta.” Ya, aku kenal lagu ini. Lagu yang begitu merdu dan sarat akan makna.

                Kini rasa penasaran menghampiriku. Bertanya-tanya tentang siapa orang yang memainkan lagu tersebut. Ku langkahkan kakiku menuju ke dalam aula. Perlombaan musik sedang dilangsungkan disini. Cukup ramai memang keadaan didalam sini. Tapi kini aku terbelak kaget setelah melihat seseorang diatas panggung yang sedang bermain piano solo melantunkan lagu dengan tema retro tersebut. Kak Vino. Tak kusangka dia bisa bermain piano sebagus itu. Selain itu suaranya cukup enak untuk didengar.


                “Kenapa.? Apa berharap lagu itu dimaikan khusus untuk lo.?”


                Seseorang melontarkan sebuah pertanyaan terhadapku. Memecah konsentrasiku terhadap alunan musik yang sedang dimainkan. Ya, seorang teman lama yang kini selalu mengusikku. Aku hanya bisa tertunduk membisu tanpa sepatah kata pun. Tak bisa ku jawab pertanyaan yang dilontarkannya padaku.


                “Kenapa diam.? Apa gue benar tentang itu.?”


                Kembali dilontarkannya pertanyaan yang sama sekali tak bisa ku jawab. Ya, hanya diam dan membisu. Seketika kepalaku terasa berat, sekejap pandanganku menjadi buram. Padat dan sesak didalam ruangan ini membuatku merasa tak nyaman. Tepat pada saat lagu berakhir, badanku pun terhempas ke lantai. Banyak mereka yang panik melihat ku. Tapi, sebelum mata ini benar-benar tertutup rapat dan hilang kesadaran. Terlihat walau samar, seorang anak yang melambaikan tangan padaku sambil tersenyum sinis. Dan kemudian dia pun hilang dibalik pintu, pergi meninggalkan kekacauan yang terjadi didalam aula, yang disusul oleh hilangnya kesadaranku.


                “Semua tentang cita.”







Bersambung………………………………………


Tidak ada komentar:

Posting Komentar