Part III
(Menghidupkan yang mati)
Sebuah
bangku terlihat masih kosong untuk di tempati. Posisinya berada di tengah,
tidak begitu buruk bagiku. Ku dekati bangku tersebut.
“Boleh
aku duduk disini.” Tanyaku kepada seorang anak yang berada di samping bangku
tersebut.
“Owh
silahkan, bangku ini masih belum ada yang tempatin kok.” Jawabnya ramah.
Aku
pun duduk di bangku tersebut. Ku letakkan tas yang sudah mulai terasa berat
diatas meja. Kini, aku hanya bisa duduk termangu melihat mereka yang sudah
saling kenal satu sama lain. Maklum saja, selama tiga hari semasa MOS, pasti
mereka saling mengenal. Selain itu ada juga anak yang berasal dari SMP yang
sama, dan sudah saling mengenal jauh sebelumnya. Mataku mulai mencari-cari,
siapa tahu ada orang yang ku kenal disini. Namun pencarian ku sia-sia. Ya, aku
sendiri disini. Benar-benar sendiri.
“Perkenalkan,
gue Bayu.” Secara tiba-tiba anak disebelahku memperkenalkan dirinya.
“Salam
kenal, gue Radhit.” Jawabku.
“Dari
SMP mana.?” Dia kembali bertanya.
“SMP
2 Karya Bangsa.”
“Owh.
Sekolah yang cukup terkenal dengan prestasinya dan………”
Belum
sempat Bayu melanjutkan pembicaraannya. Tiba-tiba seorang pria paruh baya
berseragam coklat masuk kedalam kelas kami, dengan membawa beberapa buku yang
terselip diantara lengan dan pinggulnya. Derap sepatunya terdengar begitu
keras. Jelas saja, sepatu pantofel yang dikenakan pria tersebut terlihat begitu
kokok.
“Perkenalkan,
nama saya Sukardi Djaleani. Saya guru sejarah kalian. Saya mengajar khusus
kelas X, mulai dari kelas X-1 sampai dengan kelas X-6 saja.”
Dengan
logat jawa yang sangat kental guru yang terlihat cukup bersahabat tersebut
mamperkenalkan dirinya.
“Nah
anak-anak, saya rasa hari ini kita tidak usah melakukan kegiatan belajar mengajar
dulu. Alangkah baiknya kalau kita saling mengenal satu sama lain. Iya toh.?
Wes, mari perkenalkan diri kalian satu persatu.”
Satu
demi satu anak anak di dalam kelas mulai memperkenalkan diri mereka. Mulai dari
nama dan asal sekolah mereka. Kini tiba giliran Bayu untuk memperkenalkan
dirinya. Dia pun bangkit dari tempat duduknya dan mulai memperkenalkan diri.
Wajahnya cukup menarik, dengan mata sayu, rambut ikal, hidung yang cukup
mancung. Postur tubuhnya tidak begitu tinggi, badanya rada kurus tapi berisi,
di tambah lagi kulitnya yang berwarna sawo matang. Tidak tampan, tapi menarik.
Jelas saja aku jauh lebih tampan darinya. Hahahahaaaa.
“Perkenalkan
nama saya Bayu Adrian Syaputra. Asal sekolah SMP Darma Bakti. Terima kasih.”
Ya,
dan kini tiba sudah gilranku memperkenalkan diri. Sebenarnya ini pekerjaan
gampang, hanya saja akan terkesan lebih sulit jika kau termasuk dalam tipe
orang sepertiku. Dengan berat, aku beranjak dari tempat duduk ku dan mulai
memperkenalkan diri.
“Perkenalkan,
nama saya Radhit Anggara Putra. Asal sekolah SMP 2 Karya Bangsa. Terima kasih”
Seakan
baru saja seperti melintasi neraka, walau hanya sejenak tapi begitu terasa. Ya,
dalam hal seperti ini aku menjadi orang yang cukup pemalu. Maklum saja, keseharianku
sering dihabiskan di dalam rumah sendirian dan jarang bersosialisasi.
***
Detik
demi detik terbunuh dalam waktu, seketika hari berlalu begitu cepat. Setiap jam
yang mati silih berganti. Dalam hitungan menit dunia pun akan berganti.
Kurang
dalam semenit waktu di jam tanganku menunjukan tepat pukul dua siang. Itu
berarti awal petualangan panjang ini pun akan segera berakhir. Tak lama
kemudian lonceng berbunyi. Tanda bagi para siswa untuk mengakhiri kegiatan
belajar mengajar di hari ini.
Semua
siswa mulai membereskan barang-barang mereka yang masih berada di atas meja.
Dengan suka rela seorang siswa mengambil posisi di depan kelas untuk memimpin
doa sebelum pulang. Kami berdiri di meja masing-masing untuk berdoa. Sepintas
ku lihat kak Vino berjalan melintasi kelas ku. Ya, hanya sekedar melintas.
Seusai
itu para siswa satu persatu mulai meninggalkan kelas, termasuk juga aku. Tapi
tugasku belum selesai disini. Masih ada sesuatu yang harus ku lakukan. Ku rogoh
kantong celanaku, ku keluarkan ponselku dan menelpon nomer yang ku simpan tadi
pagi.
Tuuuttt…
tuuttt…
“Halo,
siapa ini.?” Terdengar jawaban dari nomor yang ku hubungi.
“Iya
halo, benar ini nomer yang tertera sebagai kontak person untuk pendaftaran team
basket sekolah.?” Tanyaku balik.
“Owh
ya betul, kalau boleh tau ini dengan siapa.?”
“Saya
Radhit dari kelas X-5”
“Kamu
masih di sekolah.?”
“Masih
bang.”
“Kalau
gitu ambil formulirnya dulu, aku tunggu di depan sekolah ya.”
“Oke
deh kalau gitu bang.”
Kulangkahkan
kaki ku bergegas menuju depan sekolah. Setibanya di depan sekolah, terlihat
masih ramai dengan anak-anak yang masih berkerumun hendak pulang meninggalkan
sekolah. Cukup lama aku menunggu hingga tuba-tiba ada sesuatu yang bergetar di
dalam celanaku. Ku rogoh kantong ku, ternyata ada sebuah panggilan masuk. Ku
jawab panggilan tersebut.
“Halo.”
Jawabku.
“Iya
halo, lo dimana.?”
“Saya
di depan bang.”
“Yang
pake tas hijau.?” Tanya si penelpon tersebut.
“Iya
bang.”
“Oke
tunggu, gua kesana.”
Beberapa
saat setelah panggilan itu berakhir, tiba-tiba seseorang memanggil namaku.
“Radhit.?”
“Iya
bang saya Radhit.”
“Ini
formulirnya, lo isi dulu, besok gua ambil lagi ya.”
“Oke
deh bang kalau gitu.”
“Ingat,
seleksinya hari sabtu pas pulang sekolah.”
“Seleksi.??”
Tanyaku heran.
“Ya
iyalah pake seleksi. Yaudah gua balik dulu ya.”
Anak
itupun pergi meninggalkan ku. Aku baru mengetahui bahwa pendaftaran ini
menggunakan tahap seleksi terlebih dahulu. Sekarang aku mulai ragu. Apakah aku
bisa melalui seleksi tersebut. Yang lebih sialnya lagi, seleksi tersebut hanya
berjarak lima hari dari sekarang.
“Hey,
pulang kearah mana.?” Seseorang tiba-tiba mengagetkanku.
“Ehh,
elu Bay, gua pulang ke arah selatan.” Jawabku.
“Wah
sejalan donk kalau gitu. Pulang bareng aja yuk.”
“Yaudah
ayok.”
Kirasa
kini aku tak benar-benar sendirian di sini. Anak yang bernama Bayu ini ternyata
cukup bersahabat. Sepanjang perjalanan dia menceritakan segala sesuatu yang
bisa ia ceritakan. Ya, mungkin terkesan cerewet dan banyak bicara. Tapi setidaknya
perjalanan ini menjadi lebih ringan mendengar ocehannya. Ya, kami memilih untuk
berjalan kaki walaupun cukup jauh.
Baru
separuh perjalanan, Bayu pun menghentikan langkahnya.
“Dit,
istirahat bentar, gua capek.”
“Yaudah
kalau gitu.” Jawabku mengiyakan
“Tuh
ada warung, kita duduk bentar ya disana.”
“Iya,
gua ngikut aja.”
Kami
pun menuju warung yang berada tak jauh dari sana. Bayu membeli sebotol minuman
untuk melepas dahaga yang mungkin sedari tadi menyelimuti tenggorokannya.
“Mau.?”
Ujar Bayu sembari menyodorkan minuman yang berada di tangannya.
Ku
raih minuman tersebut dan meminumnya. Seakan sebuah gurun yang kini menjelma
menjadi lautan es. Ya, rasa itu berada di tenggorokan ku sekarang. Ku
kembalikan minuman botol yang di berikan Bayu tadi. Sekali lagi dia menenggak
minumannya.
“Gimana.?
Mau jalan lagi.?” Ujarku kepada Bayu.
“Sabar
dulu kek, belum juga lima menit.”
“Yaudah
kalau gitu.”
Sepuluh
menit berlalu. Kini kami kembali melanjutkan sisa perjalanan. Sekitar lima
belas menit kami berjalan, akhirnya rumahku mulai terlihat dari kejauhan.
Lambat laun kini kami pun berada tepat di depan pagar rumah ku.
“Owh
jadi ini rumah lo Dit.?” Tanya Bayu.
“Bukan,
ini rumah orangtua gue.” Jawabku.
“Jiaah,
nenek-nenek hamil juga tau kalau itu.”
“Mau
masuk dulu.?” Tawarku kepadanya.
“Wah
gak usah, makasih Dit, gue langsung pulang aja.”
“Owh
yaudah kalau gitu. Gue masuk dulu ya.”
Akhirnya
kami pun terpisah. Bayu kini melanjutkan perjalanannya sendirian. Ku buka pintu
pagar rumahku dan mulai berjalan menuju pintu depan. Telihat sunyi dan sepi.
Ya, memang selalu begini setiap harinya. Saat akan membuka pintu rumah,
seseorang mengagetkanku. Secara tiba-tiba dia muncul di sampingku.
“Sekarang
siapa yang cacat.?” Tanya anak tersebeut.
Aku
hanya terdiam dan tak bisa berkata apa-apa.
Sekali
lagi anak tersebut memberikan pertanyaan yang sama, dan lagi-lagi aku hanya
bisa terdiam. Dan pada saat dia memberikan pertanyaan yang sama untuk yang
ketiga kalinya. Aku pun mulai menjawab pertanyaannya.
“Apa
ini suatu hinaan.? Atau ini suatu tawa kemenangan dari mu.?”
“Gue
hanya bertanya. Bertanya tentang sebuah kebenaran.” Jawab anak itu.
“Kalau
begitu, lo bertanya pada orang yang salah. Tolong tinggalkan tempat ini.”
Kami
terdiam cukup lama. Sedari awal
pembicaraan aku hanya bisa menunduk tanpa berani menatapnya. Ku kumpulkan
keberanianku untuk menatapnya. Kepala yang dari tadi hanya tertunduk, perlahan
kini mulai terangkat naik. Ku tolehkan kepalaku ke kanan, di tempat anak itu
berdiri tadi. Tapi tak ada siapa pun disana. Ya, tempat itu kosong, seakan aku
memulai pembicaraan serius dengan angin.
Ku
buka pintu rumah. Setelah berada di dalam, kembali ku tutup rapat pintu
tersebut. Saat ku balikkan tubuh ku, seakan kembali kedalam sebuah kesunyian
abadi untuk yang kesekian kalinya. Sekarang mataku tertuju pada lemari
penghargaan yang berada di ruang tamu. Ya, lemari penghargaan kak Nino dengan
setumpuk prestasi di dalamnya. Ku dekati lemari tersebut.
“Angka
delapan. Angka keberuntungan mu kak. Tapi ini bukan tentang sebuah angka. Akan
ku lanjutkan jalanmu. Akan ku hidupkan kembali angkamu. Aku janji kak.”
Sebuah
janji telah terucap. Tentang menghidupkan sesuatu yang telah mati. Batin yang
sedari tadi berada diantara konflik mulai menciptakan emosi yang tak karuan.
Air mata yang membendung kini mulai menjadi penengah diantara konflik tersebut.
Mencoba mencari solusi hingga bendungan tersebut pecah dan membentuk sebuah
tangis. Tangis haru tentang kenangan dan kebahagiaan.
Kini
kepalaku terasa sangat berat. Ku tinggalkan tempat tersebut dan kembali menuju
kamarku. Hanya disana lah aku dapat mencicipi sepenggal surga. Ya, walau hanya
sepenggal, tapi dapat menciptakan sejuta mimpi. Aku rasa itu sudah cukup.
Bersambung…………………………………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar