Sabtu, 02 Februari 2013

Dibalik Cermin V (Spin off Radhit)

 Part V

(skenario masa muda)



                Satu minggu sudah aku berada di rumah sakit. Ya, lagi-lagi moment penting ku lewatkan. Hari pertama mengenakan seragam putih abu-abu. Aku sebenarnya juga bingung, sebenarnya apa yang terjadi denganku. Kenapa akhir-akhir ini hobiku malah pingsan. Hmm, entahlah.


***


                Lama rasanya tak melihat rumah. Aku rindu dengan segala kesunyian bangunan ini. Ruang tamu yang sunyi, ruang keluarga yang sunyi, ruang makan yang sunyi, dan kamarku yang sunyi. Ya, aku merindukan itu semua. Walau pun disini terasa membosankan, tapi setidaknya aku tak perlu makan bubur tawar lagi seperti saat di rumah sakit kemarin.


                “Dit, kamu istirahat dulu gih.” Ujar mama padaku.
                “Iya ma.” Saat aku hendak menuju kamar, langkahku terhenti sejenak. “Ma, kata dokter Radhit kenapa ma.?” Tanyaku pada mama.
                “Ee.. owh, katanya kamu Cuma kecapaian aja kok.”


                Tidak seperti biasanya, mama terlihat ragu dalam menjawab. Ya, ada sesuatu yang dirahasikan mama. Perlukah aku cari tahu, ataukah lebih baik seperti ini. Persetan dengan itu. Sebaiknya aku istirahat saja.



***


                Pagi yang indah untuk segudang misteri yang belum terungkap. Ya, setidaknya pagi ini masih tetap indah. Walau kepalaku masih terasa agak berat ku paksakan tubuh ini untuk berdiri dan besiap-siap untuk berangkat ke sekolah.  Mandi, ya itu hal yang harus dilakukan. Walau pun terasa berat, tapi itu wajib. Seusai mandi, ku buka lemari pakaianku. Ku lirik seragam SMP yang masih berada di dalam lemari ku.

                “Selamat menikmati masa pensiun mu.” Ujarku.

                Ku ambil seragam SMA yang sudah ku siapkan sejak sebulan yang lalu dan ku kenakan seragam tersebut. Lumayan keren dengan celana panjang sekarang. Seusai berpakaian, aku pun turun hendak sarapan. Terlihat mama sudah berada di meja makan menikmati sarapannya.


                “Loh dit, yakin mau sekolah sekarang.?” Ujar mama.
                “Iya ma, Radhit baik-baik aja kok.” Jawabku.


                Suasana di meja makan kali ini cukup kaku. Walau biasanya juga terkesan sepi, tapi tidak sekaku ini. Belum selesai dengan sarapannya, mama langsung pergi berangkat ke kantor. Ya, tanpa bicara. Hanya memberi sebuah kecupan di kening ku. tak seperti biasanya, tapi mungkin akan menjadi kebiasaan baru.

                Tak lama setelah mama pergi, aku pun ikut meninggalkan rumah. Mengembalikan rumah ini dalam sebuah kekosongan, yang mungkin sebagai teman abadinya. Ku harap hari ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Semoga.



***



                Sejarah. Walau aku cukup handal dalam mata pelajaran yang satu ini saat SMP. Tetapi kini jauh lebih sulit dari yang di bayangkan.  Itu semua karna gaya mengajar pak Sukardi Djaleani. Benar-benar membuar pelajaran ini menjadi seperti namanya. Ya, “Sukar di Jalani”.


                “Kenapa lo Dit.?” Tanya Bayu yang sedari tadi melihat ku hanya melamun saja.
                “Gak apa kok Bay, cuma lagi bosen aja.” Jawabku lemas.
                “Owh gitu, ehh tuh ntar pulang sekolah kumpul dulu di lapangan. Mau ambil seragam.”
                “Ho’oh.” Jawabku singkat.


                Kembali ku lanjutkan lamunanku. Ya melamun dan melamun. Hingga lamunan ku berhenti pada sesuatu. Atau mungkin bukan sesuatu tapi seseorang. Kak Vino.? Kenapa ada dalam lamunan ku.?

                “AAARGGHHHHH..!!!”

                Seketika aku berteriak dan membuat lamunanku buyar. Sialnya teriakan ini berada pada momen yang salah. Ya, momen pada saat kelas dalam kegiatan belajar mengajar. Semua mata tertuju padaku. Termasuk dia yang sedang menerangkan di depan dari tadi. Ya, guru ku. pak Sukardi.


                “Kamu kesurupan ya.?” Tanya pak Sukardi yang mengundang gelak tawa dari anak-anak lain.
                “Ee,,, umm,, enggak pak.” Jawabku ling-lung.
                “Ya sudah, kalau begitu kamu keluar dulu cuci muka.”


                Ku laksanakan perintah guru tersebut. Ya, sekalian mencari udara segar. Aku pun beranjak meninggalkan kelas, menuju kamar mandi. Ku basuh muka ini dengan air, terasa segar memang, tapi tetap saja kantuk ku masih belum hilang sepenuhnya. Baru saja hendak ku tinggalkan kamar mandi, lonceng sekolah pun berdentang. Waktunya pulang, tapi tas ku masih berada di dalam kelas. Apa boleh buat, aku harus kembali ke kelas untuk mengambilnya. Saat menaiki tangga, aku berpas-pasan dengan Bayu yang sedang membawakan tas ku.


                “Nih Dit tas lo.” Ujarnya sembari memberikan tas yang dibawanya.
                “Makasih ya Bay.”
`               “Yuk, kumpul dulu sama anak-anak lain. Ambil seragam dulu di lapangan.” Ajaknya padaku.
                “Yaudah, yuk.” Jawabku mengiyakan.


                Kami pun berjalan menuju lapangan. Sudah cukup banyak orang yang berkumpul di sana. Kami pun ikut ambil bagian kedalam kerumunan tersebut. Tak lama kemudian, bang Yudha datang dengan seseorang yang membawa sebuah kardus di tangannya. Ya, kardus itu berisi pakaian yang kami pesan.

                Bang Yudha pun mengabsen nama kami satu persatu untuk membagikan seragam tersebut. Semua orang sudah mendapatkannya, termasuk juga Bayu. Sekarang yang tersisa hanya aku sendiri yang belum mendapatkan seragam tersebut.


                “Dit, sini ikut bentar, aku mau bicara.” Ujar bang Yudha padaku.
                “Baik bang.”


                Ku ikuti langkahnya menuju suatu tempat yang jauh dari keramaian. Ada yang aneh. Apa pakaianku lupa di buat. Kenapa bang Yudha ingin bicara empat mata dengan ku. belum selesai dengan segala pertanyaan yang ada di dalam kepalaku. Bang Yudha menghentikan langkahnya dan mulai angkat bicara.


                “Dit, maaf tapi kamu gak bisa ikut dalam team basket.” Ujar bang Yudha.
                “Loh kenapa bang.?” Tanyaku sanksi.
                “Orang tua mu yang meminta langsung tadi pagi.” Jelasnya kembali.
                “Mama.?”
                “Iya, mama kamu.”
                “Tapi kenapa bang.?”


                Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya untuk menjawab pertanyaanku yang terakhir. Apa yang dirahasiakan. Apa semua orang harus merahasiakan sesuatu dariku.

                Setelah terdiam cukup lama, bang Yudha menyerahkan pakaian yang dibawanya dari tadi dan langsung pergi meninggalkan ku. Ya, sendirian. Ku lihat sepintas dari matanya, menjelaskan bahwa sebenarnya ini bukan kemauannya. Tapi mau bagaimana lagi. Kini aku hanya terdiam. Dan kalau ada orang yang harus di salahkan, maka mama lah orangnya. Ya, dia yang menyebabkan semua ini berakhir begitu cepat.

                Perlahan dengan berat hati, mulai ku langkahkan kaki, beranjak dari tempat ini dan hendak pulang ke rumah. Tapi niat ku terhenti saat Bayu menghampiri ku dan membuka sebuah pembicaraan baru.


                “Kenapa Dit.?” Tanya Bayu.
                “Gak kenapa-kenapa kok.”
                “Gua dengar dari pembicaraan senior, lo di keluarin dari team ya.?”
                “Iya, gue di keluarin.”
                “Loh, kenapa.?”
                “Nyokap gue yang rekomendasikan agar gue dikeluarin.”
                “Tapi bukan berarti lo gak bisa main kan.? Kasihan tuh baju, belum sempat di pakai.”


                Seketika Bayu menarik tanganku menuju kamar mandi. Mengajakku untuk mengganti seragam sekolahku dengan pakaian yang baru saja ku terima tadi. Ya, sekarang telah ku kenakan seragam berangka delapan tersebut. Terlihat cukup bagus, walau terasa sedikit aneh menggunakan baju tanpa lengan ini.

                Kini Bayu mengajak ku masuk kedalam lapangan. Semula hanya kami yang bermain di arena ini. Tak lama kemudian satu persatu anak-anak yang melihat kami bermain mulai mengambil bagian dalam permainan kami. Begitu menyenangkan memang. Ku lihat bang Yudha hanya memperhatikan tanpa melarangku. Ku rasa dia mengerti dengan keadaan ini. Sepintas terlihat di lantai dua tepat di belakang bang Yudha, ada seseorang yang sedang berdiri di depan lab kimia. Orang yang akhir-akhir ini mulai masuk secara perlahan ke dalam pikiranku. Ya, dia kak Vino, walau perlahan tapi pasti. Ku hiraukan dia sejenak dan fokus dengan permainan terakhirku. Permainan yang sekarang begitu ku nikmati.

                Cukup lama ku alihkan pandangan ku, sekarang hasrat untuk melihatnya muncul kembali. Ku perhatikan tempat dimana terakhir kali dia berdiri. Tapi tak ada seorang di depan lab kimia tersebut. Pikirku mungkin dia sudah pulang. Tapi ternyata aku salah. Terlihat dia sedang duduk dengan seseorang di salah satu bangku yang berada di sisi lapangan. Ya, dia sedang memperhatikan permainan ini. Semangat ku memuncak, ku lakukan permainan ini dengan sebaik-baiknya. Ya, perasaan aneh tentang sebuah romansa yang telah terjadi dalam diriku. Apa ini…………………………………………………………………………



***



                Cukup lama aku bermain tanpa memperhatikannya, saat istirahat, ku alihkan pandanganku kembali ketempat dia duduk tadi, sudah tak ada seorang pun disana. Ku rasa dia sudah pulang, lagi pula ini sudah hampir jam tiga sore.


                “Bay, gue jalan dulu ya, makasih untuk hari ini.” Ujarku kepada Bayu.

               
                Hanya senyuman yang diberikannya untuk membalas ucapan terima kasihku itu. Ku ambil tas ku  dan ku langkahkan kaki menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian. Tak ku sangka saat berada di depan kamar mandi, aku berpas-pasan dengan seseorang. Langkah kami terhenti sejenak, dan mata kami mulai menatap satu sama lain.  Tanpa ada sepatah kata pun, dia langsung pergi berjalan meninggalkan ku.

                Ku lanjutkan langkahku menuju kamar mandi. Lagi-lagi, seseorang yang tak ku sangka sudah berada di dalam lebih awal.



                “Kenapa.? Kaget.?” Ujarnya padaku. “Bukakah itu hanya sebuah tatapan.? Kenapa kau berharap lebih terhadap itu.?” Lanjutnya.
                “Ya, aku tau itu hanya sebuah tatapan.”
                “Lalu apa.? Siapa yang seharusnya kau sangkal.? Aku atau dirimu sendiri.?”
                “Jangan berikan sebuah pertanyaan yang membingungkan ku.”
                “Kenapa.? Tak bisa kah kau menjawabnya.? Kalau begitu, anggap saja ini hanya sebuah skenario masa muda mu.”
                “Tentang apa.?”
                “Tentang hal yang dulu pernah kita bahas. Sebuah karya Tuhan tentang ketidaksempurnaan.”
                “Apa kau sama seperti ku.?” tanya ku padanya.
                “Bisa jadi. Bahkan aku juga tak mengerti.”


                Dan dia pun pergi meninggalkan ku. Pembicaraan yang membingungkan itu berakhir dengan jawaban yang tidak memuaskan. Ya, bukan subah jawaban yang ku harapkan. Serasa ingin ku kejar teman lama ku itu dan bertanya kembali padanya. Tapi ku rasa itu sia-sia, karna ku yakin jawabannya akan selalu sama. Dia memang selalu begitu dari saat masih kecil dulu. Ya, selalu seperti itu.



***



                Setibanya di rumah, terlihat ada yang berbeda saat ini. Tak biasanya ada motor di dalam garasi. Terakhir, motornya kak Nino sudah menjadi penggalan-penggalan besi tua. Jadi, motor siapa itu. Langsung saja ku masuki rumah. Ku panggil mama, tapi tak ada yang menyahut. Kurasa mama masih belum pulang, padahal ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ku tanyakan padanya. Berhubung badan ini sudah cukup lelah sehabis bermain basket tadi, ku baringkan tubuh ini di atas kasur. Terasa begitu nyaman, hingga akhirnya kesunyian membawaku sekali lagi kedalam ruang mimpi.


                “Skenario masa muda.?”

                Kata itu keluar sebelum aku benar-benar hilang dari dunia nyata yang membosankan ini. Ya, kata dari seorang teman.



***



                Mata kunang-kuang, pandangan samar-samar, dan kepala yang masih terasa berat. Hal yang selalu terjadi jika seseorang dipaksa kembali masuk kedalam dunia nyata dan meninggalkan dunia mimpinya.

                Ku lihat jam yang terpajang di kamarku. Tak ku sangka kini sudah jam lima sore. Ku bangkitkan tubuh ini, perlahan berjalan keluar kamar dan mulai menuruni tangga. Ku lihat ada seseorang yang sedang duduk di ruang makan. Walau masih belum sepenuhnya pulih dari efek tidur siang, tapi pandangan ini masih cukup sempurna untuk menafsirkan bahwa orang itu adalah mama. Ya, ku rasa ini saat yang tepat untuk bertanya kepada mama.


                “Ma, Radhit mau tanya.” Ku mulai pembicaraan dengan mama.
                “Tentang team basket atau motor di depan.?”
                “Iya tentang keduanya. Pertama tentang team basket. Sebenarnya ada apa ma.?”
                “Gak apa-apa kok, mama takut aja kalau kamu kecapaian.”
                “Kenapa harus bohong sih ma.?”
                “Udah kamu nurut aja.”


                Ya, jawaban yang selalu menjadi andalan para orang tua. “UDAH KAMU NURUT AJA”. Sial.

                “Yaudah, untuk yang kedua. Kenapa ada motor di garasi.?” Kembali ku berikan perntanyaan kepada mama.
                “Anggap aja itu hadiah karna kamu dah nurut dengan perkataan mama.” Jawab mama santai. “Kunci nya ada di atas meja tamu, di cobain dulu gih sana.” Lanjut mama.


                Bergegas ku tinggalkan mama, mengambil kunci motor tersebut, dan menuju ke dalam garasi. Sejenak terpikir olehku, kenapa semua orang di hari ini selalu memberikan jawaban yang tidak memuaskan atas pertanyaanku. Ya sudah lah, setidaknya aku memiliki barang baru disini. Ya, sebuah motor. Tapi, apa ini.? Sepasang spion atau tanduk rusa.? Ya, spion yang terpasang di motor ini terlihat begitu panjang hingga terkesan seperti sebuah tanduk. Dari pada jengkel melihatnya, ku lepas kedua spion tersebut. Dan sekarang jauh lebih baik.


                “Dit, hp kamu bunyi tuh.” Teriak mama dari dalam rumah.


                Ku urungkan niat untuk mencoba motor baru tersebut dan bergegas berlari menuju kamarku untuk menjawab sebuah panggilan terhadap ponsel ku. ternyata hanya pesan singkat. Ku baca pesan tersebut.


                “Gw tunggu lo di lapangan komplek ya dit. Sekarang.!! GPL.!!!!”


                Walau nomornya belum tersimpan di daftar kontakku, tapi aku yakin bahwa ini adalah pesan singkat dari Bayu. Karna hanya dia yang pernah bermain di lapangan kompek bersamaku. Segera aku menuju lapangan yang tidak begitu jauh dari rumahku. Tak lama, akhirnya aku sampai juga di tempat tujuan ku. terlihat seseorang sedang duduk sendirian diatas bangku. Ya, itu Bayu. Sebenarnya ada apa dengannya. Segera aku menghampiri anak itu.


                “Hai Bay, ada apa.?” Tanya ku padanya.
                “Mau basa basi dulu atau to the point.?” Bayu balik bertanya padaku.
                “Yang langsung aja deh. Ada apaan sih.?” Kembali aku bertanya hal yang sama kepada Bayu.


                Sejenak, Bayu menarik napas panjang dan mengaluarkannya.


                “Gue mau pindah.” Ujar Bayu padaku.
                “Hah. Pindah.?”
                “Iya pindah, ke Surabaya. Bokap gue pindah tugas kesana.”
                “Lo yakin Bay.?”
                “Banget.!!”
                “Kenapa gak di bilang dari jauh-jauh hari Bay.?”
                “Ya, maaf soal itu, gue mencoba merahasiakannya dari anak-anak, termasuk elo Dit.”
                “Rahasia in tuh hal yang penting napa Bay.”
                “Iya iya,. Eh Dit, gue pengen nunjukin sesuatu ke elo.”


                Bayu pun berdiri dan mengeluarkan sesuatu dari dalam celananya. Sesuatu yang berwarna coklat kehitaman. Di dekatkannya benda tersebut ke muka ku. kini bisa ku lihat keindahan benda tersebut. Tapi………………



                “Kecil banget Bay, gak ada yang lebih gede lagi.”
                “Loh, emang mau segede apa.? Ini juga udah standar Dit.” Sanggah Bayu.
                “Mana udah item, jelek lagi bentuknya.”
                “Asem.!!! Biar jelek, ini nih barang pribadi gue yang paling berharga . Tau nggak.!”
                “Terus buat apa lo liatin.?”
                “Ya gue mau kasih untuk lo.”
                “Katanya berharga.? Kok di kasih ke gue.?”
                “Ya karna lo temen gue. Gue kasih ke lo, suatu saat gue ambil lagi. Jadi tolong di jaga baik-baik.”
                “Lo kira gue tempat penitipan barang.?”
                “Lo di kasih bukannya bersyukur, malah komplen terus dah ahh.”
                “Iya iya, bawa sini tuh koin.”


                Bayu pun menyerahkan koin tersebut. Sebuah koin dari Bali dengan ukiran tulisan yang tak ku mengerti di sekelilingnya. Terlihat indah dan penuh akan nilai. Lebih dari sekedar nilai seni, tapi ini tentang sebuah nilai persahabatan. Ya, tepat di hari esok aku kembali dalam kesendirian. Karna besok Bayu sudah berangkat meninggalkan kota ini. Apa boleh buat, seperti kata seorang teman lama.



                “Anggap saja ini hanya sebuah skenario masa muda.”








Bersambung……………………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar