Part V
(skenario masa muda)
Satu
minggu sudah aku berada di rumah sakit. Ya, lagi-lagi moment penting ku
lewatkan. Hari pertama mengenakan seragam putih abu-abu. Aku sebenarnya juga
bingung, sebenarnya apa yang terjadi denganku. Kenapa akhir-akhir ini hobiku
malah pingsan. Hmm, entahlah.
***
Lama
rasanya tak melihat rumah. Aku rindu dengan segala kesunyian bangunan ini.
Ruang tamu yang sunyi, ruang keluarga yang sunyi, ruang makan yang sunyi, dan
kamarku yang sunyi. Ya, aku merindukan itu semua. Walau pun disini terasa
membosankan, tapi setidaknya aku tak perlu makan bubur tawar lagi seperti saat
di rumah sakit kemarin.
“Dit,
kamu istirahat dulu gih.” Ujar mama padaku.
“Iya
ma.” Saat aku hendak menuju kamar, langkahku terhenti sejenak. “Ma, kata dokter
Radhit kenapa ma.?” Tanyaku pada mama.
“Ee..
owh, katanya kamu Cuma kecapaian aja kok.”
Tidak
seperti biasanya, mama terlihat ragu dalam menjawab. Ya, ada sesuatu yang
dirahasikan mama. Perlukah aku cari tahu, ataukah lebih baik seperti ini.
Persetan dengan itu. Sebaiknya aku istirahat saja.
***
Pagi
yang indah untuk segudang misteri yang belum terungkap. Ya, setidaknya pagi ini
masih tetap indah. Walau kepalaku masih terasa agak berat ku paksakan tubuh ini
untuk berdiri dan besiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Mandi, ya itu hal yang harus dilakukan. Walau
pun terasa berat, tapi itu wajib. Seusai mandi, ku buka lemari pakaianku. Ku
lirik seragam SMP yang masih berada di dalam lemari ku.
“Selamat
menikmati masa pensiun mu.” Ujarku.
Ku
ambil seragam SMA yang sudah ku siapkan sejak sebulan yang lalu dan ku kenakan
seragam tersebut. Lumayan keren dengan celana panjang sekarang. Seusai
berpakaian, aku pun turun hendak sarapan. Terlihat mama sudah berada di meja
makan menikmati sarapannya.
“Loh
dit, yakin mau sekolah sekarang.?” Ujar mama.
“Iya
ma, Radhit baik-baik aja kok.” Jawabku.
Suasana
di meja makan kali ini cukup kaku. Walau biasanya juga terkesan sepi, tapi
tidak sekaku ini. Belum selesai dengan sarapannya, mama langsung pergi
berangkat ke kantor. Ya, tanpa bicara. Hanya memberi sebuah kecupan di kening
ku. tak seperti biasanya, tapi mungkin akan menjadi kebiasaan baru.
Tak
lama setelah mama pergi, aku pun ikut meninggalkan rumah. Mengembalikan rumah
ini dalam sebuah kekosongan, yang mungkin sebagai teman abadinya. Ku harap hari
ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Semoga.
***
Sejarah.
Walau aku cukup handal dalam mata pelajaran yang satu ini saat SMP. Tetapi kini
jauh lebih sulit dari yang di bayangkan. Itu semua karna gaya mengajar pak Sukardi
Djaleani. Benar-benar membuar pelajaran ini menjadi seperti namanya. Ya, “Sukar
di Jalani”.
“Kenapa
lo Dit.?” Tanya Bayu yang sedari tadi melihat ku hanya melamun saja.
“Gak
apa kok Bay, cuma lagi bosen aja.” Jawabku lemas.
“Owh
gitu, ehh tuh ntar pulang sekolah kumpul dulu di lapangan. Mau ambil seragam.”
“Ho’oh.”
Jawabku singkat.
Kembali
ku lanjutkan lamunanku. Ya melamun dan melamun. Hingga lamunan ku berhenti pada
sesuatu. Atau mungkin bukan sesuatu tapi seseorang. Kak Vino.? Kenapa ada dalam
lamunan ku.?
“AAARGGHHHHH..!!!”
Seketika
aku berteriak dan membuat lamunanku buyar. Sialnya teriakan ini berada pada
momen yang salah. Ya, momen pada saat kelas dalam kegiatan belajar mengajar.
Semua mata tertuju padaku. Termasuk dia yang sedang menerangkan di depan dari
tadi. Ya, guru ku. pak Sukardi.
“Kamu
kesurupan ya.?” Tanya pak Sukardi yang mengundang gelak tawa dari anak-anak
lain.
“Ee,,,
umm,, enggak pak.” Jawabku ling-lung.
“Ya
sudah, kalau begitu kamu keluar dulu cuci muka.”
Ku
laksanakan perintah guru tersebut. Ya, sekalian mencari udara segar. Aku pun
beranjak meninggalkan kelas, menuju kamar mandi. Ku basuh muka ini dengan air,
terasa segar memang, tapi tetap saja kantuk ku masih belum hilang sepenuhnya.
Baru saja hendak ku tinggalkan kamar mandi, lonceng sekolah pun berdentang.
Waktunya pulang, tapi tas ku masih berada di dalam kelas. Apa boleh buat, aku
harus kembali ke kelas untuk mengambilnya. Saat menaiki tangga, aku
berpas-pasan dengan Bayu yang sedang membawakan tas ku.
“Nih
Dit tas lo.” Ujarnya sembari memberikan tas yang dibawanya.
“Makasih
ya Bay.”
` “Yuk,
kumpul dulu sama anak-anak lain. Ambil seragam dulu di lapangan.” Ajaknya padaku.
“Yaudah,
yuk.” Jawabku mengiyakan.
Kami
pun berjalan menuju lapangan. Sudah cukup banyak orang yang berkumpul di sana.
Kami pun ikut ambil bagian kedalam kerumunan tersebut. Tak lama kemudian, bang
Yudha datang dengan seseorang yang membawa sebuah kardus di tangannya. Ya,
kardus itu berisi pakaian yang kami pesan.
Bang
Yudha pun mengabsen nama kami satu persatu untuk membagikan seragam tersebut.
Semua orang sudah mendapatkannya, termasuk juga Bayu. Sekarang yang tersisa
hanya aku sendiri yang belum mendapatkan seragam tersebut.
“Dit,
sini ikut bentar, aku mau bicara.” Ujar bang Yudha padaku.
“Baik
bang.”
Ku
ikuti langkahnya menuju suatu tempat yang jauh dari keramaian. Ada yang aneh.
Apa pakaianku lupa di buat. Kenapa bang Yudha ingin bicara empat mata dengan
ku. belum selesai dengan segala pertanyaan yang ada di dalam kepalaku. Bang
Yudha menghentikan langkahnya dan mulai angkat bicara.
“Dit,
maaf tapi kamu gak bisa ikut dalam team basket.” Ujar bang Yudha.
“Loh
kenapa bang.?” Tanyaku sanksi.
“Orang
tua mu yang meminta langsung tadi pagi.” Jelasnya kembali.
“Mama.?”
“Iya,
mama kamu.”
“Tapi
kenapa bang.?”
Tak
sepatah kata pun keluar dari mulutnya untuk menjawab pertanyaanku yang
terakhir. Apa yang dirahasiakan. Apa semua orang harus merahasiakan sesuatu
dariku.
Setelah
terdiam cukup lama, bang Yudha menyerahkan pakaian yang dibawanya dari tadi dan
langsung pergi meninggalkan ku. Ya, sendirian. Ku lihat sepintas dari matanya,
menjelaskan bahwa sebenarnya ini bukan kemauannya. Tapi mau bagaimana lagi.
Kini aku hanya terdiam. Dan kalau ada orang yang harus di salahkan, maka mama
lah orangnya. Ya, dia yang menyebabkan semua ini berakhir begitu cepat.
Perlahan
dengan berat hati, mulai ku langkahkan kaki, beranjak dari tempat ini dan
hendak pulang ke rumah. Tapi niat ku terhenti saat Bayu menghampiri ku dan
membuka sebuah pembicaraan baru.
“Kenapa
Dit.?” Tanya Bayu.
“Gak
kenapa-kenapa kok.”
“Gua
dengar dari pembicaraan senior, lo di keluarin dari team ya.?”
“Iya,
gue di keluarin.”
“Loh,
kenapa.?”
“Nyokap
gue yang rekomendasikan agar gue dikeluarin.”
“Tapi
bukan berarti lo gak bisa main kan.? Kasihan tuh baju, belum sempat di pakai.”
Seketika
Bayu menarik tanganku menuju kamar mandi. Mengajakku untuk mengganti seragam
sekolahku dengan pakaian yang baru saja ku terima tadi. Ya, sekarang telah ku
kenakan seragam berangka delapan tersebut. Terlihat cukup bagus, walau terasa
sedikit aneh menggunakan baju tanpa lengan ini.
Kini
Bayu mengajak ku masuk kedalam lapangan. Semula hanya kami yang bermain di
arena ini. Tak lama kemudian satu persatu anak-anak yang melihat kami bermain
mulai mengambil bagian dalam permainan kami. Begitu menyenangkan memang. Ku lihat
bang Yudha hanya memperhatikan tanpa melarangku. Ku rasa dia mengerti dengan
keadaan ini. Sepintas terlihat di lantai dua tepat di belakang bang Yudha, ada
seseorang yang sedang berdiri di depan lab kimia. Orang yang akhir-akhir ini
mulai masuk secara perlahan ke dalam pikiranku. Ya, dia kak Vino, walau
perlahan tapi pasti. Ku hiraukan dia sejenak dan fokus dengan permainan
terakhirku. Permainan yang sekarang begitu ku nikmati.
Cukup
lama ku alihkan pandangan ku, sekarang hasrat untuk melihatnya muncul kembali. Ku
perhatikan tempat dimana terakhir kali dia berdiri. Tapi tak ada seorang di
depan lab kimia tersebut. Pikirku mungkin dia sudah pulang. Tapi ternyata aku
salah. Terlihat dia sedang duduk dengan seseorang di salah satu bangku yang
berada di sisi lapangan. Ya, dia sedang memperhatikan permainan ini. Semangat ku
memuncak, ku lakukan permainan ini dengan sebaik-baiknya. Ya, perasaan aneh
tentang sebuah romansa yang telah terjadi dalam diriku. Apa ini…………………………………………………………………………
***
Cukup
lama aku bermain tanpa memperhatikannya, saat istirahat, ku alihkan pandanganku
kembali ketempat dia duduk tadi, sudah tak ada seorang pun disana. Ku rasa dia
sudah pulang, lagi pula ini sudah hampir jam tiga sore.
“Bay,
gue jalan dulu ya, makasih untuk hari ini.” Ujarku kepada Bayu.
Hanya
senyuman yang diberikannya untuk membalas ucapan terima kasihku itu. Ku ambil
tas ku dan ku langkahkan kaki menuju
kamar mandi untuk mengganti pakaian. Tak ku sangka saat berada di depan kamar
mandi, aku berpas-pasan dengan seseorang. Langkah kami terhenti sejenak, dan
mata kami mulai menatap satu sama lain. Tanpa
ada sepatah kata pun, dia langsung pergi berjalan meninggalkan ku.
Ku
lanjutkan langkahku menuju kamar mandi. Lagi-lagi, seseorang yang tak ku sangka
sudah berada di dalam lebih awal.
“Kenapa.?
Kaget.?” Ujarnya padaku. “Bukakah itu hanya sebuah tatapan.? Kenapa kau
berharap lebih terhadap itu.?” Lanjutnya.
“Ya,
aku tau itu hanya sebuah tatapan.”
“Lalu
apa.? Siapa yang seharusnya kau sangkal.? Aku atau dirimu sendiri.?”
“Jangan
berikan sebuah pertanyaan yang membingungkan ku.”
“Kenapa.?
Tak bisa kah kau menjawabnya.? Kalau begitu, anggap saja ini hanya sebuah
skenario masa muda mu.”
“Tentang
apa.?”
“Tentang
hal yang dulu pernah kita bahas. Sebuah karya Tuhan tentang ketidaksempurnaan.”
“Apa
kau sama seperti ku.?” tanya ku padanya.
“Bisa
jadi. Bahkan aku juga tak mengerti.”
Dan
dia pun pergi meninggalkan ku. Pembicaraan yang membingungkan itu berakhir
dengan jawaban yang tidak memuaskan. Ya, bukan subah jawaban yang ku harapkan. Serasa
ingin ku kejar teman lama ku itu dan bertanya kembali padanya. Tapi ku rasa itu
sia-sia, karna ku yakin jawabannya akan selalu sama. Dia memang selalu begitu
dari saat masih kecil dulu. Ya, selalu seperti itu.
***
Setibanya
di rumah, terlihat ada yang berbeda saat ini. Tak biasanya ada motor di dalam
garasi. Terakhir, motornya kak Nino sudah menjadi penggalan-penggalan besi tua.
Jadi, motor siapa itu. Langsung saja ku masuki rumah. Ku panggil mama, tapi tak
ada yang menyahut. Kurasa mama masih belum pulang, padahal ada begitu banyak
pertanyaan yang ingin ku tanyakan padanya. Berhubung badan ini sudah cukup
lelah sehabis bermain basket tadi, ku baringkan tubuh ini di atas kasur. Terasa
begitu nyaman, hingga akhirnya kesunyian membawaku sekali lagi kedalam ruang
mimpi.
“Skenario
masa muda.?”
Kata
itu keluar sebelum aku benar-benar hilang dari dunia nyata yang membosankan
ini. Ya, kata dari seorang teman.
***
Mata
kunang-kuang, pandangan samar-samar, dan kepala yang masih terasa berat. Hal yang
selalu terjadi jika seseorang dipaksa kembali masuk kedalam dunia nyata dan
meninggalkan dunia mimpinya.
Ku
lihat jam yang terpajang di kamarku. Tak ku sangka kini sudah jam lima sore. Ku
bangkitkan tubuh ini, perlahan berjalan keluar kamar dan mulai menuruni tangga.
Ku lihat ada seseorang yang sedang duduk di ruang makan. Walau masih belum
sepenuhnya pulih dari efek tidur siang, tapi pandangan ini masih cukup sempurna
untuk menafsirkan bahwa orang itu adalah mama. Ya, ku rasa ini saat yang tepat
untuk bertanya kepada mama.
“Ma,
Radhit mau tanya.” Ku mulai pembicaraan dengan mama.
“Tentang
team basket atau motor di depan.?”
“Iya
tentang keduanya. Pertama tentang team basket. Sebenarnya ada apa ma.?”
“Gak
apa-apa kok, mama takut aja kalau kamu kecapaian.”
“Kenapa
harus bohong sih ma.?”
“Udah
kamu nurut aja.”
Ya,
jawaban yang selalu menjadi andalan para orang tua. “UDAH KAMU NURUT AJA”. Sial.
“Yaudah,
untuk yang kedua. Kenapa ada motor di garasi.?” Kembali ku berikan perntanyaan
kepada mama.
“Anggap
aja itu hadiah karna kamu dah nurut dengan perkataan mama.” Jawab mama santai. “Kunci
nya ada di atas meja tamu, di cobain dulu gih sana.” Lanjut mama.
Bergegas
ku tinggalkan mama, mengambil kunci motor tersebut, dan menuju ke dalam garasi.
Sejenak terpikir olehku, kenapa semua orang di hari ini selalu memberikan
jawaban yang tidak memuaskan atas pertanyaanku. Ya sudah lah, setidaknya aku
memiliki barang baru disini. Ya, sebuah motor. Tapi, apa ini.? Sepasang spion
atau tanduk rusa.? Ya, spion yang terpasang di motor ini terlihat begitu
panjang hingga terkesan seperti sebuah tanduk. Dari pada jengkel melihatnya, ku
lepas kedua spion tersebut. Dan sekarang jauh lebih baik.
“Dit,
hp kamu bunyi tuh.” Teriak mama dari dalam rumah.
Ku
urungkan niat untuk mencoba motor baru tersebut dan bergegas berlari menuju
kamarku untuk menjawab sebuah panggilan terhadap ponsel ku. ternyata hanya
pesan singkat. Ku baca pesan tersebut.
“Gw
tunggu lo di lapangan komplek ya dit. Sekarang.!! GPL.!!!!”
Walau
nomornya belum tersimpan di daftar kontakku, tapi aku yakin bahwa ini adalah
pesan singkat dari Bayu. Karna hanya dia yang pernah bermain di lapangan kompek
bersamaku. Segera aku menuju lapangan yang tidak begitu jauh dari rumahku. Tak lama,
akhirnya aku sampai juga di tempat tujuan ku. terlihat seseorang sedang duduk
sendirian diatas bangku. Ya, itu Bayu. Sebenarnya ada apa dengannya. Segera aku
menghampiri anak itu.
“Hai
Bay, ada apa.?” Tanya ku padanya.
“Mau
basa basi dulu atau to the point.?” Bayu balik bertanya padaku.
“Yang
langsung aja deh. Ada apaan sih.?” Kembali aku bertanya hal yang sama kepada
Bayu.
Sejenak,
Bayu menarik napas panjang dan mengaluarkannya.
“Gue
mau pindah.” Ujar Bayu padaku.
“Hah.
Pindah.?”
“Iya
pindah, ke Surabaya. Bokap gue pindah tugas kesana.”
“Lo
yakin Bay.?”
“Banget.!!”
“Kenapa
gak di bilang dari jauh-jauh hari Bay.?”
“Ya,
maaf soal itu, gue mencoba merahasiakannya dari anak-anak, termasuk elo Dit.”
“Rahasia
in tuh hal yang penting napa Bay.”
“Iya
iya,. Eh Dit, gue pengen nunjukin sesuatu ke elo.”
Bayu
pun berdiri dan mengeluarkan sesuatu dari dalam celananya. Sesuatu yang
berwarna coklat kehitaman. Di dekatkannya benda tersebut ke muka ku. kini bisa
ku lihat keindahan benda tersebut. Tapi………………
“Kecil
banget Bay, gak ada yang lebih gede lagi.”
“Loh,
emang mau segede apa.? Ini juga udah standar Dit.” Sanggah Bayu.
“Mana
udah item, jelek lagi bentuknya.”
“Asem.!!!
Biar jelek, ini nih barang pribadi gue yang paling berharga . Tau nggak.!”
“Terus
buat apa lo liatin.?”
“Ya
gue mau kasih untuk lo.”
“Katanya
berharga.? Kok di kasih ke gue.?”
“Ya
karna lo temen gue. Gue kasih ke lo, suatu saat gue ambil lagi. Jadi tolong di
jaga baik-baik.”
“Lo
kira gue tempat penitipan barang.?”
“Lo
di kasih bukannya bersyukur, malah komplen terus dah ahh.”
“Iya
iya, bawa sini tuh koin.”
Bayu
pun menyerahkan koin tersebut. Sebuah koin dari Bali dengan ukiran tulisan yang
tak ku mengerti di sekelilingnya. Terlihat indah dan penuh akan nilai. Lebih dari
sekedar nilai seni, tapi ini tentang sebuah nilai persahabatan. Ya, tepat di
hari esok aku kembali dalam kesendirian. Karna besok Bayu sudah berangkat
meninggalkan kota ini. Apa boleh buat, seperti kata seorang teman lama.
“Anggap
saja ini hanya sebuah skenario masa muda.”
Bersambung……………………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar