(romansa hina..??)
Pagi
ini berbeda dari biasanya. Karna tak ada lagi kata untuk para pejalan kaki atau
pun pengguna jasa angkutan umum. Ya, motor ini merubah segalanya. Selain itu, kepindahan
Bayu juga menjadi salah satu alasan kenapa pagi ini menjadi terasa berbeda.
Seusai
sarapan, langsung aku bergegas menuju garasi dan hendak menggunakan motor baru
ini untuk pergi ke sekolah. Ku lihat sejenak motor tersebut dan terasa ada yang
kurang. Ya, kaca spion. Hari ini aku harus membeli kaca spion baru yang
terlihat tidak begitu norak seperti yang pertama. Ku nyalakan motor itu sejenak
dan setelah merasa mesinnya sudah cukup panas, langsung saja ku tancap gas
menuju sekolah.
Sepanjang
perjalanan pemandangan kali ini terlihat jauh berbeda. Mungkin karna dulu aku
hanya bisa melihat pemandangan hanya dari satu sisi dimana aku duduk saat di
dalam bus. Dan kali ini semua terasa lebih jelas. Terlihat banyak orang yang
berlalu-lalang hendak mengawali aktifitas di pagi ini. Dan sialnya ada orang
yang sudah mengawali aktifitasnya jauh lebih awal dari yang lain. Dia yang
berseragam abu-abu dengan celana coklat dan dilengkapi rompi hijau. Ya, seorang
polisi lalu-lintas.
Melihat
sepeda motor yang ku kendarai tidak memenuhi standar sesuai dengan ketetapan
pada UU no. 22 tahun 2009, polisi berbadan tambun dengan kumis tebal tersebut
menghentikan motor yang ku kendarai. Ku turuti perintah dari polisi tersebut,
dan jujur ini kali pertama ku mengalami hal seperti ini. Wajahku mulai pucat
setelah di gempur oleh berbagai pertanyaan yang diberikan polisi tersebut
kepadaku. Aku hanya bisa menunduk dan terdiam mendengarkan segala macam kata
yang keluar dari mulut polisi tersebut tanpa ku mengerti.
Saat
aku hampir memutuskan bahwa ini adalah hari sial ku, tiba-tiba seseorang
berseragam SMA menepi di dekat motorku. Dia pun turun dan menghampiri kami dan
ikut ambil bagian dalam masalah ini. Setelah mendapat inti dari permasalahan
ini, dia mencari jalan keluar yang cukup efektif. Di lepaskannya salah satu
kaca spion yang berada pada motornya dan memasangkannya pada motorku. Dan
akhinya masalah ini pun selesai, walau polisi berbadan tambun tersebut masih
terlihat rada sanksi membiarkan kami bebas, tapi bukankah ini lebih baik dari
pada harus di tilang. Toh, lisensi mengemudi juga hanya formalitas belaka.
Akibat banyaknya pembuat SIM tembak, alias langsung kelar, menurut ku wajar
pengemudi di negara ini tidak mengerti aturan. Jadi jangan salah kan kami pak
polisi yang baik. Hahahaaa…
Perkenalan
singkat pun terjadi di antara aku dan Kak Vino. Walau sebenarnya aku sudah
mengenalnya dari awal, tapi rasanya dia tidak ingat bahwa sebenarnya dia pernah
mengenalku dulu saat dia masih menjabat sebagai ketua panitia MOS. Walau hanya
sekedar perkenalan, tapi rasanya ada sesuatu yang berbeda pada diri ku. Apa
ini.?? Aku merasa bahwa kini dia menganggap ku ada. Mungkin ini yang di maksud
pepatah “Mati satu tumbuh seribu”, ya, seribu rasa yang aneh ini pastinya
setelah kepindahan Bayu.
Eitsss..
“RADHIT…!!! LO KENAPA..!!! SENIOR MU ITU COWOK..!!!”
Dan
bentrok di dalam batin pun terjadi saat dalam iring-iringan sepanjang
perjalanan kami ke sekolah. Ya, sekarang aku bisa atau mungkin wajib merasa
takut. Mungkin yang dikatakan teman lama ku ada benarnya. Tentang segala
ketidak sempurnaan ini. Tentang suatu dilema yang tak berujung. Atau tentang
sebuah romansa yang hina. Entah lah, aku juga tak mengerti, aku masih terlalu
muda untuk memahami itu. Mungkin sebaiknya ku jalani saja dulu dan melihat
perkembangannya.
***
Tak
lama, akhirnya kami pun tiba di areal sekolah. Terlihat suasana sudah cukup
sepi. Tapi terlihat cukup banyak siswa yang berdiri di koridor. Ya, menjalani
hukuman mereka.
“Aseeem..!!
gue telat juga.”
Begitu
lah perkataan yang ku dengar terlontar dari mulut kak Vino. Dan kini aku pun
merasa bersalah. Tak seharusnya dia berada dalam situasi ini. Segera ku ucapkan
permintaan maaf ku padanya.
“Hahahaa, gak apa kok Dit. Paling juga di suruh bediri
sampai jam istirahat pertama.”
Walau
dia mengatakan semua seakan baik-baik saja, tapi tetap saja nada bicaranya
masih terdengar masih sanksi dengan keadaan ini. Apa boleh buat, tanpa bisa
berbicara apa-apa, pernyataan itu hanya ku balas dengan sebuah tawa. Ya, tawa
yang kecut akibat dari dilema akan rasa bersalah ini.
Sekitar
lima belas menitan kami menjalani hukuman di koridor, tiba-tiba masalah baru
pun muncul. Seakan kali ini keberuntungan memang tak berpihak pada ku. Semua
itu karna seorang guru berbadan gemuk dan terlihat sangar yang menghampiri kak
Vino. Dengan nada bicara layaknya mafia dia melontarkan sebuah pernyataan.
“Vino,
tugas kamu masih belum ada ya.? Dengan berat hati saya mengatakan bahwa nilai
kamu tidak bisa saya perbaiki.”
walau di tujukan kepada kak Vino,
tapi tetap juga akan berlabuh padaku. Secara, masalah ini bermula juga karena
aku. Seketika ku lihat kak Vino mengeluarkan sebuah buku dan hendak
menyerahkannya pada guru tersebut.
“Maaf,
saya sudah tidak terima tugas yang mau di masukan lagi.”
Dan finishing dari percakapan yang dilontakan
guru tersebut benar-benar membuat ku dalam posisi yang sangat amat tidak
menyenangkan. Rasa bersalah pun muncul kembali dalam diri ku. Dan kurasa itu
hal wajar. Aku hanya bisa tertunduk tanpa sepatah kata pun. Hanya takut membuat
hari ini menjadi jauh lebih buruk lagi.
“Hahahaaa,
asem bener dah hari ini.” Sontak kata itu keluar dari mulut kak Vino.
“Gara-gara
aku ya kak..?”
Sebenarnya
memang ini semua gara-gara aku. Kenapa dengan bodohnya aku masih mempertanyakan
itu. Walau kak Vino berkata bukan, tapi tetap saja realita berkata sebaliknya.
“Sebagai permintaan maaf, gimana kalo aku traktir kak Vino
makan di kantin siang ini.?”
Ku berikan sebuah tawaran kepada kak Vino. Ya, berharap ini
sebuah pembayaran atas segala kesalahanku di hari ini. Lagian badan kak Vino
yang kurus berisi itu tidak mungkin memesan makanan satu gerobak. Kecuali kalau
memang dia cacingan, tapi gak mungkin deh. Hohohohoo…
Dan
sebuah kesepakatan pun tercipta antara aku dan kak Vino. Tepat di istirahat
kedua kami akan bertemu di kantin agar aku bisa memenuhi janji ku.
***
Lonceng
tanda jam istirahat pertama berdentang. Dan kini hukuman yang kami jalani pun
berakhir. Kami berpisah dan menuju kelas masing-masing. Saat aku berjalan
hendak menuju ke kelas ku, menyusuri koridor di depan ruang BP yang cukup sepi,
suara seseorang menghentikan langkah ku.
“Ku
lihat kau sudah begitu akrab dengannya. Apa kini kau sudah benar-benar mantap
untuk menaruh sebuah harapan padanya.?”
Ya,
suara itu sudah tidak asing bagi ku. Dari gaya bicara dan pertanyaannya, aku
sudah bisa menebak siapa orang itu. Ya, teman lama ku.
“Itu
bukan urusanmu.” Ku jawab pertanyaannya dengan nada ketus.
Seketika
ku tinggalkan tempat itu dan memacu langkahku jauh lebih cepat. Sebuah tawa
darinya, terdengar cukup jelas. Bukannya aku tak bisa menjawab pertanyaan
tersebut. Hanya saja, aku bingung bagaimana cara menjawabnya. Ku rasa ini semua
ini masih diluar logika ku dan biarkan saja ini masih tetap menjadi sebuah
misteri. Ku yakin, kelak jawaban atas segala pertanyaan ini pasti akan ku
temukan.
Tetapi,
setibanya di kelas, aku hanya duduk termangu. Bingung dengan segala sesuatu
yang terjadi. Di satu sisi kejadian ini begitu menyenangkan, tapi di lain sisi
ini bagaikan sebuah kesalahan besar. Apa ini hanya sebuah proses dari
kedewasaan. Ya, detik ini aku benar-benar merasakan sebuah dilema yang sudah
melampaui kapasitasku. Tentang “Siapa aku”, atau mungkin “Apakah aku”. Mungkin
itu hanya sebuah pertanyaan bodoh. Tapi ku yakin itu semua ini berdampak besar
padaku kelak.
Lonceng
tanda istirahat berakhir berbunyi. Seketika aku pun tersadar dari lamunan ku.
Ada satu hal yang lupa ku sadari hari ini. Ya, bahwa bangku di sebelahku
sekarang telah kosong. Hanya sebuah senyum tipis yang bisa ku berikan saat
menatap bangku tersebut, dan berharap bangku ini kelak segera terisi kembali,
walau tak sama lagi. Dan saat ku palingkan pandanganku, sepintas terlihat dari
balik jendela seorang teman lama yang berjalan sambil menatapku. Sesaat mata kami
saling bertemu, walau hanya sebuah tatapan, tapi itu seakan mengisyaratkan
sesuatu. Ya, seakan berbicara agar segera ku akhiri semua skenario yang kacau
ini. Dan tak lama, dia pun menghilang dari pandangan ku, tepat di sisi tembok
tanpa jendela, dimana aku tak bisa melihatnya.
***
Arloji
ku menunjukan bahawa sekarang tepat pukul dua belas siang. Dan itu di iya kan
oleh sambutan dari dentangan lonceng sekolah yang menandakan jam istirahat
kedua telah di mulai. Sesuai dengan janji yang telah aku dan kak Vino sepakati,
maka dari itu aku pun menunggunya di kantin sekolah.
Sudah
cukup lama aku duduk sendiri di sini, tapi tak juga ku dapati tanda-tanda dari
keberadaan kak Vino. Ku pesan segelas minuman sebagai teman menunggu ku siang
ini. Dan kini aku benar-benar mulai merasa bosan dengan situasi ini. Kembali ku
lirik arloji yang ku kena kan. Kepastian waktu telah ku dapatkan, dan kurang
dari sepuluh menit lagi istirahat ini akan berakhir. Dan kini bisa ku pastikan
bahwa dia tak kan datang memenuhi janjinya.
“Jadi
benar kau sudah menaruh harapan lebih pada nya.?”
Sebuah
pertanyaan yang sama di pagi tadi kembali terulang. Ya, pertanyaan itu masih
dilontarkan oleh orang yang sama. Dan kini ia mendekat kearah ku dan duduk di
samping ku.
“Ku
rasa mungkin itu benar.” jawabku singkat.
“Jadi
apa itu sebuah pengakuan.?”
“Tentu
saja bukan.!!”
“Lalu
apa.?”
“Itu,,
itu,, arghh..!! Bukan kah sudah ku bilang ini bukan urusanmu.!!”
“Ya,
ya, aku tahu itu. Sampai bertemu lagi.”
Dan
dia pun kini pergi meninggalkan ku seorang diri di kantin. Sekarang aku hanya di temani oleh semua pertanyaan
yang kini mulai menari dalam benak ku. Ya, semua pertanyaan yang masih belum
bisa ku jawab untuk saat ini.
Lonceng
sekolah kembali berbunyi, menandakan bahwa jam istirahat telah berakhir. Aku
pun mulai beranjak dari tempat tersebut. Setidaknya aku sudah berusaha menepati
janji ku. Hanya saja, kadang semua tak selalu berjalan sesuai dengan rencanaku.
Dan kini, ku langkahkan kaki kembali menuju ke kelas.
***
Tak
ada satu pun pelajaran yang diterima oleh otak ku siang ini. Mungkin karna aku
masih merasa jengkel dengan sebuah janji yang telah di ingkari. Bahkan hingga
segala kegiatan di sekolah telah berakhir rasa jengkel itu masih belum juga
hilang.
Mulai
jenuh dengan atmosfir di sekolah, segera ku tinggalkan tempat ini. Bergegas aku
menuju ke tempat dimana ku parkirkan motorku tadi pagi. Dan tanpa ku sangka kak
Vino berada disana.
“Eh
dit, maaf ya, tadi aku gak bisa nemuin kamu di kantin. Soalnya aku anterin
Putri pulang tadi. Dia sakit mendadak dit.” Jelasnya
padaku.
“Hmm,
iya kak.”
Hanya
jawaban singkat ku berikan yang diselipi dengan senyuman. Ya, memang tak banyak
yang bisa ku bicarakan saat ini. Mungkin karna aku masih jengkel padanya.
Segera ku nyalakan motor dan pergi meninggalkannya tanpa berkata apapun lagi.
Ya, mungkin ini cara yang terbaik.
Setibanya
di rumah, langsung saja aku menuju ke kamar dan membaringkan tubuh ku diatas
kasur. Pikiran ku mulai bertanya-tanya. Sebenarnya perasaan apa ini.? Apa ini
wajar.? Apa kenapa aku berharap lebih padanya.? Kenapa, kenapa dan kenapa.
Selalu kata itu menjanggal di benak ku saat ini, hingga akhirnya hilang terbawa
mimpi.
***
Empat
hari berlalu, seakan semua kembali seperti semula. Ya, situasi dimana saat ia
menganggapku tak ada. Seharusnya aku tidak menaruh harapan lebih padanya. Ya,
mungkin itu suatu kesalahan yang harus ku sesali. Kini ku rasa aku butuh
sesuatu untuk mengganjal perut ku. segera ku bereskan semua peralatan sekolahku
yang masih berserakan di atas meja dan hendak menuju kantin. Baru saja aku
selesai membereskan peralatanku, tiba-tiba seseorang datang menghampiri meja
ku.
“Hay dit.” Sapa nya padaku.
“Eh
kak Vino, ada apa kak.? Tumben datang ke kelas aku.?”
“Aku
mau minta tolong nih dit, bisa.?”
Tanpa
basa-basi langsung saja kak Vino masuk kedalam inti permasalahan. Ku rasa dia
lupa dengan sebuah janji yang di ingkarinya beberapa hari lalu. Tapi
setidaknya, dugaan ku salah tentang keadaan yang ku kira telah kembali seperti
semula.
“Minta
tolong apa kak.?” Tanya ku penasaran.
“ Entar pulang sekolah aku tunggu di tempat parkir, nanti
kalau kamu udah di sana baru aku ceritain, gimana.?”
“Oke
deh kak, sip.”
Ku
iya kan permintaan bantuan dari kak Vino. Toh, membantu orang bukankah itu hal
yang baik. Walau sebenarnya aku masih sedikit jengkel dengannya.
Bel
tanda pulang sekolah telah berbunyi. Walau sebenarnya hari ini aku sedang tidak
menggunakan motor. Tapi aku sudah membuat janji dengan seseorang di tempat
parkir. Jadi langsung saja ku langkahkan kaki ini menuju tempat
parkir.
Ku
lirik ke kanan dan ke kiri, aku mencari-cari seseorang. Dan ternyata orang yang ku cari berada di
pojok sedang duduk diatas motornya dan langsung saja ku hampiri dia.
“Maaf kak kelamaan.” Ujarku.
“Gak apa kok dit.”
“Kalo boleh tau kak Vino mau minta bantuan apa ke aku.?”
Jari telunjuk kak Vino mengarah kepada seseorang yang baru
saya keluar dari gerbang sekolah.
“Itu, kamu bisa tolong aku ngikutin wanita itu gak.?” Jelas
nya.
“Owh yang itu ya. Terus habis itu.?” Jujur saja aku cukup
bingung dengan situasi ini..
“Ya ikutin aja. Entar kalo dia udah berhenti di suatu tempat
kamu hubungi aku.” Jelas kak Vino kembali.
“Oke
deh kak.”
Ya,
walau masih rada bingung dengan keadaan ini, tapi tetap ku turuti perintah kak
Vino. Ya, ku ikuti cewek tersebut kemanapun dia pergi. Hingga akhirnya langkah
cewek tersebut terhenti di taman kota. Di sebuah bangku, ku lihat sudah ada
orang yang sudah lebih awal berada disana menunggu cewek tersebut. Mereka
terlihat cukup akrab. Ya, dan itu membentuk maiset ku bahwa mereka berdua
adalah pasanga. Walau kurasa cewek tersebut sudah tak asing bagi ku. Tapi jujur
saja aku tak bisa mengingatnya.
Segera
ku hubungi kak Vino melalui pesan singkat.
“Kak Vino, orangnya lagi ada di taman kota nih. Lagi berduaan sama cwo
nya menurut aku. Hihihihiiii..”
Dan,
send. Tapi rasanya aku salah menulis. Tak seharusnya ku tulis sesuatu aja
berdasarkan prasangka ku saja. Arrrgghhh… siaal…!!! Mau bagaimana lagi, semua
sudah terlanjur. Ya apa boleh buat sekarang.
Tak
lama kemudian kak Vino pun tiba. Segera dia turun dari motornya dan menuju
kearahku.
“Dit,
dimana cewek tadi.”
“Tuh
disana.” Ujarku sembari mengacungkan telunjukku kearah dimana cewek yang ku
ikuti tadi berada.
Ku
lihat wajah kak Vino yang mulai merah padam. Kurasa dia sedang menahan emosi
nya saat ini. Dan perlahan aku pun bisa menerka keadaan dan situasi saat ini.
Ku alihkan pandangan ku dari raut wajahnya yang sedang kusut. Saat kedua orang
sejoli yang sedang memadu kasih dibangku taman tersebut mempertemukan bibir
mereka, sontak kak Vino bergerak menuju kearah mereka. Aku hanya mengikutinya
dari belakang. Dan jujur saja, ini bukan urusanku, aku tak harus ambil bagian
dalam situasi ini. Maka dari itu, ku ambil jarak yang cukup jauh dari mereka.
Adu
mulut pun terjadi. Dan saat cewek tersebut minta putus dengan kak Vino, baru ku
sadari bahwa dia pacarnya kak Vino yang dulu pernah ku tabrak saat sedang
membawa buku. Kini lelaki yang bersama cewek tersebut mulai ambil bagian dan
angkat bicara. Walau ku rasa dia hanya sebagai kompor dalam situasi ini. Merasa
tidak terima dengan perkataan lelaki tersebut, kak Vino pun melayangkan
beberapa pukulan tepat di wajahnya. Lelaki tersebut terjatuh dari tempat duduknya.
Melihat kejadian tersebut, langsung saja aku berlari kearah kak Vino dan
berusaha menghentikan semua ini. Ya, aku hanya tak ingin kejadian ini menjadi
lebih buruk lagi.
“Kak
Vino, tenang kak.” Ku halau tubuh kak Vino yang masih belum puas menghajar
lelaki tersebut.
“Makasih untuk semuanya put.” Ucapnya kepada cewek tersebut
dengan nada bicara yang penuh emosi. “Dit, ayo kita jalan.”
Dan
kami pun meninggalkan tempat tersebut. Aku hanya mengikutinya dari belakang.
“Dit,
naik sini.” Ujarnya sambil menepuk kursi belakang pada motornya.
Ku
turuti saja kemauannya tersebut. Saat motor sudah berjalan, ku biarkan saja dia
membawa ku kemanapun dia pergi. Ya, aku masih takut untuk memulai pembicaraan
dengan kak Vino. Bahkan untuk sekedar memberikan alamat rumah ku sekali pun.
Tak
lama, motor yang ku tumpangi kini telah berhenti disebuah rumah yang terlihat
cukup megah dan terdiri dari dua lantai.
“Kak,
ini rumahnya kak Vino.??” Tanyaku penasaran.
“Iya ini rumah aku. Masuk dulu yuk, nanti bentar lagi baru
aku antar kamu pulang.”
Aku
pun mengikutinya masuk kedalam rumah tersebut, menaiki tangga dan terhenti di
sebuah ruangan. Ya, ini sebuah kamar. Dari bentuk dan kadar berantakannya,
sudah jelas ini kamar seorang cowok. Dan kurasa ini kamarnya kak Vino.
“Mau minum apa dit.??” Tanya kak Vino padaku.
“Terserah aja deh
kak.”
“Ya
sudah tunggu bentar ya.”
Kak
Vino pergi meninggalkan ku sendirian di kamar ini. Kurasa dia mencari sesuatu
untuk di minum. Ku perhatikan sekeliling ku, terlihat benar-benar berantakan.
Kurasa itu hal yang wajar untuk seorang cowok.
Beberapa
saat kemudian dia pun muncul dari balik pintu dengan membawa segelas minuman di
tangannya. Dan minuman tersebut adalah minuman yang sama dengan minuman yang
dulu pernah ku berikan kepada Bayu saat pertama kali datang kerumah ku. ya, AIR
PUTIH. Mungkin ini karma untukku. Hahahaaa..
“Kak
Vino. Tadi tuh pacar kakak ya.??” Ku coba untuk memulai sebuah pembicaraan.
“Bukan,
mantan aku sekarang.” Jawab kak Vino ketus.
“Owhh.”
SIAL..!!
Seharusnya tak ku tanyakan pertanyaan bodoh itu pada kak Vino. Karna ku rasa
aku sudah memulai sebuah pembicaraan dengan cara yang salah. Langsung saja ku
akhiri pembicaraan tersebut.
Setelah
kami terdiam sejenak. Kak Vino melepaskan baju seragam nya. Ku perhatikan lekuk
tubuhnya. Terlihat kurus tapi berisi. Mata ku tak terlepas dari setiap sentinya
yang membuatku terpikat.
“Hey,
tunggu.!! Apa aku tertarik pada lekuk tubuh seorang cowok.??” Dan kalimat itu
seketika singgah dalam benakku. Langsung saja ku palingkan wajah ku dari nya ke
sisi yang berlawanan. Ya, kini aku merasa malu terhadap diriku sendiri.
Ku
rasakan goncangan pada kasur. Kembali ku lihat kearah kak Vino berada. Terlihat
kini dia berada di samping ku dan sedang membaringkan tubuhnya. Ku tatap
matanya yang sedang asik menerawak kearah langit-lagit, tanpa menghiraukan
keberadaan ku sedikit pun. Aku pun ikut berbaring di sebelahnya, menemaninya
dalam kesunyian ini. Suatu kesunyian yang berbeda dari biasanya yang ku
rasakan. Dan tak lama kemudian, ku lihat mata kak Vino sudah tertutup rapat.
Sejenak, pikiranku kembali bertanya-tanya. “Jika ini sebuah romansa, pantaskah
ini terjadi.? Ataukah ini hanyalah sebuah romansa yang hina.? Patutkah aku menjalaninya.?” Dan kembali ku
biarkan pertanyaan itu kembali tanpa jawaban.
Entah
secara sadar atau tidak, aku memeluk tubuh kak Vino. Hangat kini ku rasakan,
dan segera aku menyusulnya kedalam buaian mimpi.
Bersambung……………………………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar