Part VII
(Sebuah permainan)
Bibir
ku saling bersentuhan dengan bibirnya. Ini pertama kali aku melakukannya. Ya,
walau dengan seorang cowok, tetap saja ini yang pertama buat ku. Ku rasakan
sesuatu menggerakkan tanganku. Pusing mulai ku rasakan. Sial..!! ternyata semua
tadi hanya mimpi. Mataku masih terlalu berat untuk ku buka. Merasa kurang
nyaman dengan perlakuan tersebut, ku paksakan mata ini untuk terbuka.
Samar-samar, tapi terlihat begitu jelas sosok seseorang di hadapanku. Bagaikan
seorang malaikat yang terdampar di bumi. Sejenak mata kami saling bertemu. Saat
sedang asik ku nikmati keindahan wajahnya, tiba-tiba pikiran tentang mimpi tadi
kembali muncul. Seketika wajah ku memerah. Malu karna dia yang ku mimpikan
berada di hadapanku. Langsung saja ku tutupi wajahku dengan bantal. Jujur saja,
sekarang aku mulai salah tingkah.
“Aaaarrgh..!!! kak Vino apa-apaan sih.” Rengek ku.
“Baru di lihatin gitu aja udah mewek.. hahahahaa.” Ujar kak
Vino. “Udah bangun gih, aku antarin kamu balik, dah jam lima nih. Tapi cuci
muka dulu sana.”
“Iya iya.” Segera aku beranjak dari ranjang dan melucuti
pakaian ku satu persatu.
“Ehh, kamu mau mandi dit.??” Tanya kak Vino yang sedari tadi
melihatku.
“Ehh.. umm.. enggak lah kak.”
“Terus itu kenapa pakaiannya di lepas semua.?? Kamu masih
ngigau ya dit.??”
Ku
perhatikan ke bawah. Ya, hanya celana pendek yang kini ku gunakan. Aku hanya
menjawabnya dengan nyegir ala kuda. Sungguh ini hal yang paling memalukan yang
pernah ku lakukan. Untung saja aku belum melepaskan boxer ini. Seandainya boxer
ini terlepas, mau di letak dimana muka ku.
Ku
kenakan kembali pakaian yang tadi ku lepaskan dan bergegas mencuci muka. Hanya
sekedar untuk mengembalikan kesadaranku dan berharap tak ada lagi hal memalukan
yang akan ku perbuat. Setelah selesai membasuh muka, kami pun mulai
meninggalkan tempat ini dan menuju ke rumah ku.
Sepanjang
pejalanan tak ada percakapan apapun yang kami lakukan. Aku hanya sibuk
memikirkan tentang mimpi ku tadi. Ya, aku merasakan dilema tentang mimpi
tersebut. Sebenarnya aku juga masih ragu kalau itu hanya mimpi belaka. Rasa
penasaran yang menemaniku sedari tadi membuat mulut ini tak kuasa lagi
membendung sebuah pertanyaan yang tarlontarkan untuk kak Vino.
“Kak...
Tadi pas aku baru bangun, kak Vino habis cium aku ya.??”
Entah
setan apa yang meresuki ku hingga pertanyaan tak layak itu keluar dari mulut
ku. Sekarang aku benar-benar tak tau lagi harus berbuat apa jika saja kak Vino
kurang berkenan dengan pertanyaanku tersebut.
Beruntungnya
pembicaraan tersebut berubah haluan menjadi sebuah komedi. Dan ku rasa kak Vino
menganggap itu benar-benar hanya sebuah lelucon.
Tak
lama kemudian kami pun telah tiba di rumahku.
“Masuk dulu yuk kak.” Ajak ku sambil menarik tangan kak
Vino.
“Aku gak bisa
lama-lama tapi dit.” Ujar kak Vino.
“Yaudah gak apa. Yang penting kak Vino masuk dulu.”
Biasanya aku enggan untuk membiarkan seseorang singgah di
rumahku. Mungkin karna aku memang lebih suka sendiri di rumah dan sudah
terbiasa dengan keadaan yang sepi.
“Ini semua punya kamu dit.??” Tanya kak Vino yang sedang
berdiri di depan lemari penghargaan.
“Bukan kak, hanya medali yang itu punya aku.” Jawab ku
menunjuk medali yang ku dapatkan dari porseni beberapa waktu lalu.
“Terus sisanya punya siapa.??” Tanya kak Vino yang kini
terlihat penasaran.
“Sisanya punya kak Nino, kakak kandung aku. Dan rasanya
lemari ini juga gak bakal diisi lagi oleh penghargaan nya kak Nino.” Jawab ku
rada lesu.
“Loh, emang kenapa.? Kalau dia bisa mendapatkan penghargaan
sebanyak ini, rasanya menambah satu penghargaan lagi bukan hal yang susah kan
buat dia.?”
“Iya, bukan hal yang susah buat kak Nino kalo dia masih
hidup.”.
“Owh, maaf ya dit, aku gak tau.”
“Gak apa kok kak. Lagian kan ada kak Vino sebagai penggantinya
kak Nino.” Ucapku dengan senyum lebar penuh harapan.
Kini kak Vino melirik sebuah foto yang terpajang di ruang
tamu. Ya, foto keluarga ku yang tak mungkin bisa di perbarui kembali.
“Dit, itu kakak
kamu.??”.
“Iya kak, mirip kan sama kak Vino.”
“Kalo di lihat sepintas sih rada mirip juga.” Ucap kak Vino
membandingkan. “Kalo boleh tau, kakak kamu meninggal kenapa dit.??”
“Kak Nino kecelakaan waktu mau jemput aku pulang sekolah
saat aku masih SMP sekitar dua tahun lalu. Dia meninggal saat perjalanan kerumah
sakit. Kata dokter benturan keras di kepala kak Nino yang menyebabkan
pendarahan di otak. Dan karna itu kak Nino gak bisa di selamatin” jelas ku,
walau sebenarnya enggan untuk ku ungkit kembali.
Tidak selesai hanya sampai disitu, kak Vino kembali melanjutkan
pertanyaannya.
“Terus orang tua kamu Dit.??”
“Mama lagi tugas keluar kota. Sedangkan papa, satu tahun
lebih awal dari kak Nino.”
“Papa kamu juga..............??”
“Iya.” Ku potong perkataan kak Vino. “Papa meninggal karna
serangan jangtung saat sedang tugas di balikpapan.” Jawab ku lirih.
Jujur saja, aku benar-benar enggan untuk menceritakan
semuanya. Tapi entah kenapa perasaanku jauh lebih lepas dari sebelumnya. Ya,
sejenak semua terasa jauh lebih ringan. Hingga tanpa ku sadari, air mata ku
mulai mengalir melalui pipi ku. seketika kak Vino mendekap erat tubuhku. Terasa
hangat dan nyaman, segala masalah yang selama ini ku pendam seakan pergi
bersama air mata yang tak henti keluar. Ku sandarkan kepala ini di pudak kak
Vino sebagai tempat pelampiasan emosi yang bahkan sudah lama tak ku ingat lagi.
Ya, sesuatu yang tak bisa ku defenisikan dengan kata-kata.
***
“Lama tak jumpa. Apa kau sudah melupakan ku.?”
“Bagaimana mungkin aku bisa melupakan mu, kita sudah
mengenal sejak lama.?”
“Ya, ya. Tapi apa kau tahu ada yang tak beres dengan kita.?”
“Tentang apa.?”
“Sesuatu yang harus kau cari tahu sendiri.”
“Dimana aku bisa menemukannya.”
“Tak perlu kau cari. Kau hanya perlu menunggu.”
“Seberapa lama.?”
Dia hanya tersenyum dan kemudian berjalan pergi meninggalkan
ku. Menuju ke dalam cahaya yang sangan terang hingga aku pun tak bisa
melihatnya karna begitu silau. Sangat silau dan..
“Aaaarrrghh..!!!” aku pun terduduk. Hening menemaniku di
pagi itu. Ku perhatikan jam di kamar ku. masih menunjukan pukul setengah lima
lebih sedikit. Kembali aku termenung memikirkan mimpi tadi. Kenapa dia di dalam
mimpi ku.? Apa yang tidak ku ketahui saat ini.?
Bingung membayangi ku dan mulai mengganggu ku. Ku baringkan
kembali tubuh ini dan kembali kedalam tidur yang belum sempurna.
***
“Dit..!! Radhit..!! HP kamu bunyi tuh Dit.”
Berulang kali teriakan itu berkumandang di dalam rumah dan
membuatku terjaga dari tidur ku. Ku raih handphone ku yang berada diatas meja
belajar. Ternyata ada sebuah panggilan masuk dari kak Vino. Langsung saja ku
jawab panggilan tersebut.
“Halo.. Ada apa kak telpon pagi-pagi gini.?”
“Pagi.? Ini udah sore kali dit.”
“Hah.? Sore.?”
“Iya, udah jam empat ini. Ehh, malam nanti kamu ada waktu
gak dit.? Kita pergi nonton bola yuk.?” Ajak kak Vino.
“Ada sih, yaudah, kalau gitu aku tunggu di rumah ya. Kak
Vino jemput aku.”
“Loh, kan kamu ada motor.” Ucap kak Vino rada sangsi.
“Kalau gak mau yaudah. Aku gak ikut deh kalau gitu.” Ujar ku
yang terkesan seperti sebuah ancaman.
“oke deh oke. Entar malam aku jemput kamu.”
“Yaudah, aku tunggu ya kak.”
Pembicaraan itu pun berakhir. Ya, malam ini adalah partai
final piala dunia antara Jerman dan Spanyol. Ku bongkar lemari ku, mencari
sebuah pakaian yang sudah lama tak ku kenakan. Sebuah kaos berwarna merah yang
bertuliskan nomer 9. Baju kebanggan negri matador di lapangan hijau. Ku letakkan
baju tersebut di atas kasur dan mulai bergegeas mandi. Mempersiapkan diri untuk
malam yang besar ini.
***
Malam pun tiba, dan saat yang di tentukan pun mulai datang.
Seseorang mengetuk rumahku. Ku buka kan pintu. Benar dugaan ku, kak Vino datang
lebih awal malam ini.
“Masuk dulu kak.” Tawar ku.
“Gk usah dit, kita langsung jalan aja.” Ujar kak Vino.
“Owh yaudah kalau gitu. Aku pamitan sama mama bentar ya
kak.”
“Oke oke.”
Setelah berpamitan, kami pun langsung bergegas meninggalkan
rumah ku. Kami melaju menyusuri setiap sudut malam di kota Jakarta yang dihiasi
oleh cahaya lampu jalan. Sepanjang perjalanan kami berbincang tentang segala
hal. Tak jarang sebuah tawa menghiasi wajah kami. Jujur saja, ini hal terbaik
yang pernah ku alami. Mungkin karna kini aku bisa berbicara lebih lepas tanpa
harus di temani sepi lagi.
Tak lama kemudian motor yang dikendarai kak Vino pun
berhenti di suatu tempat di daerah Semanggi. Sebuah cafe dengan suasana yang
cukup menarik menurutku. Terlihat kak Vino mengeluarkan sesuatu dari tas
selempangnya. Sebuah sweeter berwarna putih dan hitam. Ya, simbol bahwa dia
memegang Jerman.
Kami pun melangkahkan kaki masuk kedalam café tersebut.
Sibuk mencari, akhirnya kami temukan sebuah tempat yang cukup nyaman untuk kami
tempati saat menonton nanti. Di layar monitor yang disediakan, komentator masih
asik berbicara panjang lebar tentang prediksi mereka yang tak jelas arahnya.
“Kak Vino, mending sweeternya di lepas aja deh. Udah pasti
kok Jerman kalah.”ucapku memulai pembicaraan.
“Gak salah dengar nih. Bukannya kaos kamu aja yang di
lepas.”
“Kalo di lepas, aku mau pake apa.”
Di sela-sela pembicaraan kami, seorang wanita berpakaiaan
kaos putih datang menghampiri kami.
“Mau pesan apa mas.??” Ujar wanita tersebut.
“Coklat panas satu.” Ucap kami bersamaan.
“Oke deh, tunggu sebentar ya mas.” Kata wanita tersebut rada
centil.
Ku perhatikan kak Vino cukup lama melirik wanita tadi.
Sejenak pertanyaan iseng muncul di benak ku.
“Cantikan mana pelayan tadi sama Putri.??” Ujarku
blak-blakan.
“Apaan sih.” Jawab kak Vino rada jutek. “Kalo sama pacar
kamu, cantikan mana.??” Kak Vino balik bertanya.
“Kalo ada pacar juga, gak mungkin aku jalan sama kak Vino
malam ini.”
“Tuh si Luna temen sekelas kamu kan mantep tuh, kenapa gak
coba di dekatin aja.”
“Cewe kayak dia kak.?? Jadi pacar aku.?? Tunggu Spanyol
menang dulu, baru aku tembak dia.”
Sebenarnya tak ada maksud serius dalam perkataan ku tadi.
Tapi kak Vino mungkin menganggap ini cukup serius baginya.
“Kalau Jerman yang menang gimana.??” Kembali kak Vino
bertanya.
“Ya berarti kak Vino yang nembak Luna.” Ku jawab saja dengan
santai.
“Yaudah, kalo gitu kita deal ya.”
“Maksudnya..!!” Jujur aku cukup kaget saat kak Vino mengajak
untuk bersepakat.
“Ya kita taruhan kan..?”
“Aku kan gak serius bilang kayak tadi kak.”
“Ya tapi kan kamu udah bilang, jadi kita deal aja deh.”
“Oke deh kalo gitu, terserah kak Vino aja.”
Tak ku sangka telah ku buat sebuah pertaruhan yang
seharusnya tak ku buat. Tapi mau bagai
mana lagi, aku sudah terlanjur juga sudah mengiyakannya secara tidak langsung.
Yang jelas, nanti malam harus ku temukan jalan keluarnya. Ya, harus ku temukan.
Di akhir menit pertama, seorang pemain bernomer punggung 9
berhasil membobol gawang dari Jerman.
“Jerman bisa gak tuh.??” Dengan spontan kata itu terlontar
dari mulut ku.
“Waktu masih banyak. Kemungkinan masih ada.”
Pertandingan kembali berlanjut. Dan hingga peluit panjang di
tiupkan sebagai tanda akhir dari pertandingan, belum ada perubahan skor yang
tercipta. Masih tetap 1-0. Spontan aku ikut berteriak kegirangan mengikuti
mereka yang berbaju merah lainnya di dalam café ini. Tapi sejenak suka cita itu
sirna saat kak Vino mengingatkan ku akan sesuatu.
“Ingat, jangan lupa nembak si Luna.”
“Iya, hari pertama masuk aku bakal tembak dia di belakang
sekolah deh. Kak Vino jadi saksi ntar.”
Dan sekarang, aku benar-benar dilema saat seseorang yang
membuatku nyaman saat ini seakan telah mengusirku menjauh dari kehidupannya.
Ya, ini benar-benar membingungkan. Sangat-sangat membingungkan.
***
Kesunyian masih bersamaku malam ini. Sudah beberapa hari ini
aku berusaha mencari solusi, walau tak kunjung juga ku temukan. Padahal besok
adalah hari yang menjadi kesepakatan kami. Ku rasakan tenggorokan ini cukup
kering. Ku langkahkan kaki keluar kamar mencari sesuatu untuk menghilangkan
rasa dahaga yang ku rasakan. Dapur menjadi tujuanku. Ku lihat mama yang
tertidur pulas di meja makan dengan berkas yang berserakan di sampingnya.
Rasanya ingun ku suruh mama untuk pindah ke kamar agar dapat tidur lebih
nyaman. Hanya saja aku tak tegi membangunkannya.
Tanpa sengaja ku lihat sebuah berkas yang masih tertutup
rapat oleh amplop coklat. Di sampulnya tertulis nama sebuah rumah sakit.
Sebenarnya aku cukup penasaran dengan amplop tersebut. Karna aku tahu bahwa
mama bukanlah seorang dokter, jadi tak mungkin memiliki amplop tersebut kecuali
jika ada yang sakit diantara kami. Tapi ku urungkan niat ku untuk mengetahui
isi amplop tersebut. Mungkin saja ini adalah berkas rumah sakit milik nenek ku.
Setelah ku basuh tenggorokan ini dengan air, kembali aku
masuk kedalam kamar. Kurasa aku membutuhkan bantuan seseorang saat ini untuk
menyelesaikan masalah ku. Tapi ku rasa dia tak mungkin datang saat ini. Selain
itu, hal ini mungkin akan bertambah rumit jika dia di sini.
Setelah cukup lama, ku temukan sebuah pemikiran yang cukup
gila menurutku. Jujur saja, aku tak menyukai Luna. Dan sialnya aku tertarik
kepada kak Vino. Tapi, apa akan ku ambil resiko ini. Apa aku berani terhadap
kak Vino dan teman lama ku.? semua cukup membingungkan, tapi tak akan pernah ku
ketahui jika tak ku coba.
***
Semalaman hingga pagi menjelang, tak ku dapatkan
kesempurnaan dalam tidur. Dikarenakan pikiranku masih asik dengan konflik yang
tak kunjung usai. Ku persiapkan diri bergegas untuk datang ke sekolah di hari
pertama ini. Walau pikiranku saat ini sedang dipenuhi akan dilema besar. Tetap
ku langkahkan kaki ku menuju kesekolah dan berharap suatu keajaiban muncul di
hari ini. Ya, keajaiban besar yang membuatku bisa terhindar dari kesalahan
situasi ini. Ku lagkahkan kaki perlahan menuju ke sokalah. Ingin rasanya
berjalan selama mungkin . setidaknya hanya itu cara agar aku bisa menunda
kejadian nanti.
“Be your self.” Seseorang baru saja berbicara pada di tengah
perjalananku. “Apa susahnya sih mengakui keadaan mu. Kanapa harus kamu lakukan
jika memang kamu tidak menyukai Luna. Kenapa nggak kamu jelaskan saja semua.”
“Kamu..!!”
Lagi-lagi dia. Apa dia tidak mengerti bahwa aku benar-benar
tak menginginkan keberadaannya.
“Hei.. santai donk.. aku disini hanya mencoba menbantumu.”
“ya mungkin harus ku akui pada kak Vino, bahwa aku memang
tak menyukai si Luna.”
“Hanya sebatas itu.?”
Sebuah pertanyaan kembali dilontarkannya. Seakan dia mulai
menertawaiku dengan keadaan ini.
“Maksudmu, akui semuanya.?” Tanyaku sanksi.
“Kalau bisa, kenapa enggak. Gampang kan.?” Dengan santainya
dia menjawab perkataan ku.
“Jadi itu yang kamu maksud membantuku.? Semua itu tidak
lebih dari acara bunuh diri bagi ku.!!”
Mulai ku tekankan nada bicaraku. Dalam situasi pembicaraan
yang mulai memanas ini, anak itu masih
tetap bisa berbicara dengan nada santai.
“Hidup ini pertaruhan Dit.
Jika kamu menginginkan sesuatu, maka ada juga yang harus kamu
pertaruhkan untuk itu.” Jelasnya
“Jadi maksudmu, aku mempertaruhkan diriku sendiri.?”
“Kurang lebih seperti itu.”
“Kenapa harus cara seperti itu.? Apa nggak ada jalan lain”
“Yang kamu inginkan itu adalah sesuatu yang besar. Sesuatu
yang ditabuhkan oleh banyak orang dan di enggankan oleh Tuhan. Apa mungkin kamu
hanya mempertaruhkan sesuatu yang kecil untuk hal yang sebesar ini..?”
“Ya, aku mengerti sekarang. Mungkin saat ini aku hanya perlu
sedikit bermain dengan situasi rumit ini.”
“Atur saja permainanmu. Semoga sukses dengan caramu sendiri.”
Anak itu pun berlari kearah persimpangan yang berlawanan
dengan sekolah ku. tapi jujur saja, sampai saat ini aku masih belum mengetahui
dimana ia bersekolah. Mungkin di pertemuan selanjutnya baru akan ku tanyakan
tentang hal itu.
***
Gerbang sekolah. Saat ini seperti sebuah gerbang neraka yang
dipoles dengan bentuk sedikit lebih
cantik. Damn..!! biar secantik apapun
gerbangnya. Neraka tetap saja neraka. Tak ada yang bisa mengganti isi situasi
dalamnya.
Perlahan ku tapakkan kakiku melangkah memasuki areal
sekolah. Mataku sibuk memperhatikan sekitar. Tak ada tanda-tanda dari kak Vino
di pagi ini. Setidaknya itu lebih baik hingga kutemukan permainan yang cocok
dengan situasi ini.
***
“Jadi Jepang menarik mundur pasukannya dari Indonesia
setelah jatuhnya bom atom dengan ledakan dasyat di Hirosima dan Nagasaki. Saai
itulah terjadi kekosongan pemerintahan di Indonesia. Dengan sigap para Founding
Father mulai mempersiapkan kemerdekaan republik ini saat ada kesempatan
tersebut.” Jelas pak Aidit Muso, si guru muda yang mengajar sejarah dan selalu
terlihat santai itu. “ Sampai disini, ada pertanyaan.?”
Suasana kelas mendadak hening sejenak. Para siswa terlihat
saling pandang satu sama lain. Seakan saling melempar beban untuk bertanya.
“Ya sudah kalau tidak ada, saya mengajar sampai disini dulu.
Kalian diharapkan bisa tenang hingga jam istirahat. Selamat siang.”
Dan pak Aidit pun melangkah meninggalkan kelas. Tepat di
depan pintu, terpaan surya menyerang pak Aidit seakan beliau hendak kembali ke
surga. Aku hanya terpaku melihatnya seperti orang bodoh dengan fantasi konyol
ku. Ya, mungkin karna sampai detik ini aku masih belum bisa menemukan cara agar
terhindar dari masalah ku.
EIITT TUNGGU.!!!
Ledakan besar..?? Kekosongan..?? Dan sebuah kesempatan..??
Aku sudah memiliki ledakan besar. Yang tersisa sekarang
hanyalah menunggu kekosongan dan mencari sebuah kesempatan. Tak ku sangka semua
menjadi semudah ini. Walah masih sebatas konsep dasar. Tapi kurasa ini sangat
efektif.
Rasanya pak Aidit memang seorang malaikat bagi ku di saat
seperti ini. Materi yang baru saja dia berikan seakan membuka jalan pikiranku
tentang permainan apa yang harus ku lakukan nanti. Ya, permainan akan di mulai.
Hanya tinggal menungu aba-aba memulainya saja.
***
Jam istirahat tengah berlangsung. Aku berjalan santai menuju
kantin, hendak membeli sesuatu untuk mengganjal isi perutku. Dari kelasku
menuju kantin harus melalui kelasnya kak Vino. Gak ada salahnya jika ku temui
dia sekarang. Toh, aku juga sudah cukup siap dengan keadaan siang nanti. Siapa
tahu saja, ini adalah kali terakhir aku bakalan ketemu dengan dia. Setidaknya
untuk sekedar menyapanya.
Beruntung, ternyata kak Vino sedang berada di kelas. Dan,
Dia sedang asik melamun. Aneh, mungkin sedang ada sesuatu yang mengganjal di
pikirannya. Rasanya situasi sangat cocok mengerjainya. Sekalian aku mau menantangan.
Ya, menguji keberaniannya untuk memenuhi janjinya.
“kak, ntar ya pulang sekolah.”
“ada apa pulang sekolah.”
Kenapa justru dia yang balik bertanya. Aku jadi
bertanya-tanya dibuatnya. Apa dia lupa.? Atau sekedar pura-pura lupa.? Masa
bodoh lah dengan sikap kak Vino kali ini.
“pokoknya aku tunggu di belakang sekolah, oke kak”. Balasku
tanpa menjawab pertanyaan tersebut seraya ninggalkannya.
Ya. Mungkin perntanyaan balik darinya itu pasti sebuah ujian
darinya. Seolah-olah kak Vino tidak mengingatnya, lalu saat aku juga
berpura-pura lupa. Dia akan menertawai tentang betapa pengecutnya diriku.
Untung saja aku tidak termakan permainannya. Hahahahaaa.
***
13.32 jam digital yang bersemayam dilengan kiriku sudah
memberikan ku tanda waktu saat ini. Seakan hendak menyuruh ku untuk bersiap.
Dan….
Krriinggggg…..!!! kriiiiingggg….!!! Kriiiinggg…..!!!
Ya.. aku akan melakukannya.
Bersambung………………………………